Artikel perdana, Gengs! Kumulai blog ini dengan sebuah cerita pendek, yaitu cerpen pemenang lomba oleh Kantor Bahasa Jambi beberapa tahun silam. Simak ya, bagikan kalau kamu suka. Kalau nggak, ya udah gpp.
BOOM ….
“Setaaan!”
“Anjiiingg!”
Kami berlarian sambil
terbahak. Mercon busi buatan Muaz memang yang terbaik, barangkali yang belum
bangun sejak sahur, sekarang terjengkang di lantai. Hanya makian yang kami
dapat, tak akan ada yang berani main tangan pada anak Rusli, Bapakku. Bukan
karena itu saja, juga karena memang kampung kami hanya berisi orang-orang baik.
Suara domino diaduk masih
terdengar nyaring, juga nada bass para pemainnya. Bapakku tak pernah
absen dari meja itu. Ia dan teman-temannya baru saja menyelesaikan rapat warga
untuk acara pemilihan Ketua RT. Dengan atau tanpa rapat, malam akan ditutup
dengan domino, rokok, dan botol.
Aku senang menunggu Bapak
usai bermain, meski tidak demikian dengannya. Mamak, cukup dengan
mendelikkan mata, sudah membuatku terkulai di kamar. Aku akan tidur dengan busi
berumbai yang dibuatkan oleh Muaz.
Dulu tidak ada yang menjual
petasan. Mercon dibuat sendiri oleh aku dan kawan-kawan, sebagaimana Yuk Menik
membuat lampu dari lilin dan batok kelapa. Bulan puasa adalah bulan mercon, di
mana segala kreativitas berbau ledakan seperti ilmu kanuragan yang dipakai pada
saat yang tepat.
Muaz membuatkanku mercon
setelah aku dibully—dulu istilah ini belum dikenal—karena merconku
terlalu feminin. Aku membuatnya dari potongan papan yang kulubangi dengan paku,
lalu lubang itu diisi bubuk fosfor hasil menggerus kepala batang korek api,
lalu menutupnya dengan lembar kecil alas gesek yang melekat di sisi kotak korek
api itu. Kemudian, berdiri ala kadarnya paku yang ujungnya telah ditumpulkan
pada lubang papan tadi. Dengan satu pukulan, ledakan akan terdengar. Tapi itu
sangat tidak laki-laki. Ilmu itu aku dapatkan dari Yuk Menik.
Muaz yang kasihan melihat
aku menjadi bahan tawa di kelas—Gavin menceritakannya pada seantero sekolah,
kemudian menyuruhku mencari busi bekas mobil untuk ia jadikan mercon yang
jantan. Dibantu Dodi dan Muhsin, tidak hanya busi, aku bahkan mendapatkan bahan
yang lengkap; busi bekas mobil, korek api, karet ban, dan tali rafia.
Malam ini kudengar Bapak
masih membahas cerita rapat dengan teman-temannya. Ketua RT lama mendadak
sakit, bulan lalu meninggal dunia. Sekarang kelompok domino itu menyiapkan
rencana organ tunggal sehari semalam untuk menyambut ketua RT yang baru. Akan
ada pesta.
Yang menjadi masalah
mereka, saat ini bulan puasa. Suara speaker panggung akan
bersaing dengan speaker masjid. Bahwa pada siang hari orang
akan berpuasa bukanlah kendala. Di sini kami terbiasa melihat orang lalu lalang
sambil merokok dari awal hingga akhir Ramadan.
“Biso diatur. Kagek aku
yang lobi pengurus masjid untuk libur tadarus semalam bae. Kito kan
menghormati pimpinan kampung. RT lain jugo pasti setuju,”
suara Bapak menutup kegaduhan diskusi mereka.
Seharusnya bapakku yang
paling pantas menjadi Ketua RT. Semua orang patuh padanya. Ia mampu
menyelesaikan masalah antarwarga tanpa keributan. Dan Bapak bukan preman. Ia
dituakan karena memang sudah tua. Anak-anaknya hampir semua sudah menikah,
hanya tersisa aku dan Yuk Menik di rumah. Kakak-kakak kami membangun rumah
sendiri di kanan dan kiri rumah Bapak.
Konon, dulu ketika Bapak
datang, Kelurahan Sentosa adalah hutan karet. Entah peninggalan Belanda, atau
pribumi yang tak bersisa. Bapak tak tahu baca tulis. Ia hanya mengenal tiga
huruf yang diingatnya sebagai masa ketika ia pergi meninggalkan Jawa.
Kala itu, ramai orang
menuliskan N, O, dan E di pintu rumah mereka sebagai pernyataan bahwa mereka
bukan PKI. Ketika itulah Bapak hijrah, dan hingga kini tak pernah kembali.
Bapak membuka lahan,
membangun rumah di atas tanah yang ia kira bukan milik siapa-siapa. Lalu
setelah tempat itu ramai dan menjadi perkampungan, barulah utusan Pemerintah
Daerah datang, dan menyatakan bahwa tanah yang kami tempati adalah milik
pemerintah. Bapak tidak marah, dan tidak pula memprovokasi warga untuk marah.
Karena Bapak bukan preman. Ia hanya salah seorang Indonesia yang tak
berpendidikan, hingga tak tahu hendak berbuat apa.
Mungkin akhirnya aku
terpejam. Hingga terbangun di usia kepala tiga.
Istriku menggeleng haru,
salah satu lembar koran lokal di tangannya tertimpa beberapa tetes air mata.
Nyaris tembus, hanya tintanya seput lalu gambar di sisi belakangnya muncul.
Mengaburkan berita yang baru dibacanya.
“Itu salah dio
dewek,” kataku menghibur.
“Aku yakin polisi salah
tembak,” jawabnya.
“Dio bukan
Muaz kau yang dulu, kecuali memang dio jago
membuat mercon!” Suaraku agak tinggi. Ning tak menjawab. Istriku menangisi
mantan idolanya, wajar kan, jika aku cemburu.
Terjadilah pesta itu. Kami
berjoget di depan panggung. Biduan asal Payo Lebar meliuk-liuk bersama salah
satu kakak laki-lakiku. Bapak di bawah, tertawa-tawa dengan botol dan rokok di
tangannya.
Masjid bungkam. Kami
sengaja tidak tarawih dan tadarus malam ini, khusus untuk merayakan terpilihnya
Ketua RT yang baru. Spesial bagi aku, Dodi, dan Muhsin. Kami merayakan
keberhasilan membobol salah satu kelas di sekolah kami—yang tentu saja bukan
kelas kami. Botol-botol berisi air yang sedianya dipakai guru untuk mencuci
tangan, kami pindahtempatkan ke loak. Uangnya untuk membeli tali rafia dan
korek api. Sedang aku berjoget, Muaz asyik menggerusi kepala korek api,
memasukkan sebanyak-banyaknya ‘mesiu’ ke lubang busi mobil yang tadi siang
kudapatkan.
Dodi menyisir rumbai rafia
mercon businya saat memanggilku. Muhsin ada bersamaku, kami berdua penyuka
dangdut. Muaz masih asyik di sisi panggung. Meski speaker tepat
di atas kepalanya, ia masih konsentrasi pada senjata dan amunisi yang tengah
dipersiapkan.
“Sudahlah joget, tu. Kito
kalahin suaro spiker ni!”
Aku dan Muhsin terkekeh
mendengar celoteh Dodi. Muaz mengacungkan ibu jarinya, tanda setuju.
Aku pun menyudahi. Kami
berempat sedikit menjauh dari keramaian.
Ternyata Dodi dan Muaz
telah memenuhi busi mereka dengan fosfor, lengkap dengan kertas belerangnya.
Tinggal aku dan Muhsin yang baru akan melakukannya sekarang.
“Kito adu
kuat,” tantang Muaz pada Dodi.
“Pasti kaulah
yang menang. Aku ngisi limo batang bae sudah
capek, kau setengah kotak.”
Kami semua terbahak. Tidak
ada yang bisa mengalahkan Muaz seumur hidup kami. Ia paling jenius dan paling
tampan di antara kami. Itulah sebab Ning terus memandanginya sejak aku di atas
panggung. Aku memandanginya, dan ia memandangi sahabatku. Cinta monyet, sebelah
tangan pula.
“Biak kuat ledakannyo,
kertas alas tu yang tipis bae. Karton dalamnyo jangan
ikut.” Muaz mengajariku yang baru saja tuntas mengisi lubang busi. Kertas yang
ia maksud kusobek perlahan dari permukaan gesek di sisi kotak korek api, dan
meletakkannya perlahan pula di atas bubuk fosfor.
Dodi yang menunggui kami
tanpa sengaja menemukan sebuah busi bekas motor di pinggir jalan. Segera ia
memberikan benda itu pada Muaz. Tapi Muaz menolaknya.
“Kecik, bunyinyo kayak
mercon kayu Arif,” katanya. Aku tersenyum kecut di antara ledakan tawa mereka.
Pada busi mobil, Muaz akan
dengan tangkas mengeluarkan elektroda dan besi kecil serupa huruf L di atasnya.
Ke mana-mana penjahat kecil itu membawa tang. Tak aneh, bapaknya seorang kuli
bangunan.
Canda tawa kami mengalir
selama proses persiapan mercon. Yuk Menik, Ning, dan anak-anak perempuan aneka
usia melintas dengan lilin kecil warna warni yang mereka letakkan di dalam
tempurung kelapa kering yang dimiringkan. Lagi-lagi, aku memandangi Ning, dan
ia memandangi Muaz.
Satu ledakan menggema tepat
di belakang Ning. Dodi tertawa melihat anak-anak perempuan itu berlari
menyelamatkan diri. Mereka tahu kami tengah bermain mercon busi. Bukan
ledakannya yang mereka khawatirkan, tapi apa jadinya jika tertimpa.
Tapi hanya Dodi yang tertawa.
Aku, Muhsin, dan Muaz menatapnya jengkel.
“Sekali lagi kau lempar
dekat orang lewat, aku buang semua busi kau! Kami dak mau tanggung jawab
kalau ado yang pecah kepalanyo,” Muaz menggeram.
Dodi terdiam.
Kemudian giliranku melempar
busi. Kupikir Ning berada tak jauh dari sana, aku berharap merconku tak
memalukan.
Benda sakti itu terbang ke
langit dengan ketinggian yang sudah kuperkirakan. Kemudian ia berbalik
mengikuti hukum fisika. Rumbai ekornya memastikan busi tak oleng saat mendarat.
BLARR!
Di luar dugaanku,
orang-orang bertepuk tangan. Tidak ada Ning di sana, tapi kawan-kawan Bapak
ternyata dari tadi memperhatikan kami. Aku bangga sekali.
Tapi sebentar kemudian,
sebuah ide gila merusak pameranku. Dodi yang mengusulkan, dan entah kenapa kami
menyetujuinya. Aku, Muaz, Muhsin, dan Dodi melemparkan busi yang telah diisi
ulang secara bersamaan. Tahulah dunia apa yang kemudian terjadi. Panggung
bergetar, orang-orang yang semula kagum, seketika berubah menjadi benci.
Aku dan kawan-kawanku
berlari terengah-engah menghindari amukan orang-orang tua. Mercon kami menjelma
menjadi bom dahsyat yang membuat orang-orang panik sejenak, lalu mengamuk
karena terkejut setengah mati.
Kami tidak berlari sambil
tertawa—seperti biasanya, tapi benar-benar dalam kepanikan. Dan entah kapan
terpisahnya, masing-masing kami tahu-tahu mendapati dirinya sendirian tak jauh
dari rumah.
Aku hanya mendapatkan
bentakan remeh dari salah seorang kakak laki-lakiku. Bapak masih di
panggung, Mamak tak tahu cerita. Hingga pagi aku selamat.
Itulah keutamaan menjadi anak bungsu dari sekian banyak saudara.
Besoknya di sekolah, Dodi
membawa pipi merahnya ke kelas. Kami berempat sekelas, karena memang hanya ada
satu kelas pada masing-masing tingkat. Sedang Muhsin memamerkan lingkaran biru
kehitaman di pinggangnya.
“Kau diapokan,
Rif?” Tanya Muhsin padaku.
“Aku ni anak
kesayangan. Dak mungkin dipukul,” kuangkat kerah baju,
kesombongan khas anak muda.
Hari itu, hingga jam
pulang, kami tak mendapati kehadiran Muaz.
Densus 88 menembak terduga
teroris di Jambi. Abu Hakim, alias Muaz, berhasil dilumpuhkan atas informasi
masyarakat yang mencurigai kegiatan tersangka beserta kelompoknya.
Sekarang kebanggaan itu
datang lagi, meski namaku hanya disebut ‘masyarakat’. Muaz bukan lagi ketua
kelompok kami, ia telah menjelma sebagai kepala penjahat yang membunuhi
orang-orang dengan keahlian membuat merconnya.
Meski aku bukan orang baik,
tapi aku masih mencintai negara ini. Aku tak butuh fanatisme agama hingga harus
turun ke jalan-jalan meneriakkan kemerdekaan untuk Palestina atau menolak
kudeta Mesir. Apalagi harus melayangkan nyawa orang lain atas nama jihad.
Aku dan Dodi telah cukup
memperjuangkan kehidupan kami hingga bisa memenangkan kompetisi yang mahatinggi
sebagai pemenang; menjadi ASN. Berbeda dengan Muhsin yang sampai sekarang masih
melajang karena ia hanya tukang ojek.
Sejak dulu keluarga Muhsin
memang tergolong keluarga tak mampu, hingga mereka tak pernah tertarik pada
bursa kepegawainegerian yang sering menjadi bahasan forum ibu-ibu belanja di
warung orang tua Dodi. Berbeda dengan Bapak yang terus mengikuti perkembangan
kisaran angka pada bursa itu. Bagiku Bapak adalah sebenar-benar pahlawan. Ia
bekerja keras untuk memperbaiki keadaan keluarga. Ia menabung sepanjang hidup
untuk memuluskan langkahku pada posisi sekarang. Karena Bapak tahu, nilai
sekolahku tak menjanjikan untuk menjadi pegawai pemerintah dengan cara yang
normal.
Bapak juga pemimpin terbaik
di kampung kami, yang berhasil menyatukan kepentingan masjid dan meja domino.
Yang selalu bisa membuat organ tunggal bermalam-malam tanpa keonaran, dan
sabung ayam tanpa penggerebekan. Sayang, Bapak yang sampai sekarang masih
hidup tak bisa mendengar berita baik akan kepahlawananku. Sekarang pahlawan tua
itu hidup seperti kayu. Rapuh, setengah tuli, penglihatannya kabur, hanya bisa
duduk lalu terbaring kembali.
Ibu meninggal sepuluh tahun
lalu, mewariskan pahlawan kayu pada anak-anaknya. Berdasarkan hasil rembuk
kakak-adik, Bapak ditempatkan di rumahku. Karena memang aku yang paling
menyayanginya, sebagaimana akulah anak kesayangannya.
Kali pertama aku melihat
Muaz menangis. Idulfitri seharusnya menjadi momen bahagia, tapi kami berempat
banjir air mata. Sungguh ngeri hukuman yang diterima Muaz. Lebih dari sekadar ditampar
seperti Dodi, atau dicubit layaknya Muhsin. Muaz dikeluarkan dari sekolah. Ia
diambil paksa dari kami.
Aku ingat wajah orang tua
itu. Ia yang berusaha tersenyum ramah, tapi terasa menjijikkan di mata
kanak-kanakku. Orang itulah yang kemudian menjadikan Muaz sebagai teroris.
“Aku ini kawan baik Muaz.”
Kusentuh lembut bahu Ning. Sisi baikku mengajari agar memperlakukan perempuan
ini dengan baik. Bagaimana tidak, ia telah memperlakukan Bapak layaknya ayah
kandung.
Ning merawat Bapak tanpa
rasa jijik, dan selalu bersabar menghadapiku. Satu-satunya kesalahan Ning
adalah selalu membela Muaz di depanku.
“Muaz cuma preman kecik.
Tapi itu dulu. Sekarang dio musuh negara. Dulu Muaz bikin
mercon untuk sekadar senang-senang, sekarang dio bikin bom
untuk bunuh semua orang.” Kutatap lekat mata Ning, mengharap pengertiannya.
“Abang tahu dari mano?
Abang ado tengok dio bikin bom?” Ning menjawab dengan lembut.
Tapi terasa tajam di dadaku.
“Ado apo antara
kalian, Dek? Apo istimewanyo Muaz? Dio cuma
pacar lamo, dak patut Adek puja-puja dio di
depan suami,” suaraku masih lunak.
Ning tertawa pelan.
“Kami dak pernah pacaran, Bang. Anak SD zaman kito dulu manolah kenal
pacar. Aku cuma dak percayo Muaz sejahat itu. Keluarganyo pun
masih ado di sini, baik semua, samolah seperti
keluarga Abang.”
“Rif …. “ Bapak memanggil.
Aku urung berdebat dengan
Ning. Bapak jelas menyelamatkanku. Meski telah puluhan kali aku melihat Muaz
membuat mercon, sekalipun tak pernah kulihat ia merakit bom. Tapi firasatku
mengatakan demikian, bukankah kesenangan masa kecil merupakan petunjuk minat
dan bakat seseorang. Belum lagi berita dari berbagai media yang memang
menunjukkan bagaimana kawanan orang serupa Muaz yang memanfaatkan kecerdasannya
untuk melukai orang lain.
Kadang aku terkenang masa
ketika di sekolah dulu, guru-guru lebih menyukai anak pintar yang nakal
ketimbang anak pendiam yang bodoh. Padahal makin pintar seseorang, makin ia
berbahaya jika moralnya tidak benar.
Bertahun-tahun aku tak
bertemu Muaz, mana aku tahu ia membuat bom seperti apa di mana. Sekarang ia
pulang, datang ke kampung kami dan berulah seperti pamannya dulu. Yang aku
tahu, dan aku yakini, aturan agama tidak akan berseberangan dengan aturan
masyarakat yang normal. Aku beragama secara sederhana, mengikuti yang biasa dilakukan
orang tua dan tetangga. Jika makin taat makin berbahaya, biarlah aku mati dalam
kedangkalan amal saja.
Bapak menyambut
kedatanganku, tangannya terulur meminta bantuan untuk duduk. Ning tidak
mengikutiku karena merasa tidak dipanggil. Bukan karena tak ingin membantu,
itulah kelebihan Ning berikutnya. Ia sangat menghargai privasi antara anak dan
bapak, tak pernah ia nimbrung pada diskusi kami tanpa diminta.
Dan tak sekali pun ia menolak keputusanku untuk membantu Bapak, Mamak,
ataupun kakak-kakakku, meski tanpa meminta pendapatnya.
Kali ini pun demikian. Ning
tetap di kamar, pada posisi di mana tadi kami berbincang. Ia mengira Bapak akan
meminta sesuatu, atau mengajakku ngobrol seperti yang sering
kami lakukan. Ternyata Ning keliru, Bapak hanya ingin aku duduk di sampingnya.
Bapak bersandar pada
bantal, diam dalam duduknya. Setelah bermenit-menit demikian, perlahan ia
menoleh padaku, “Bacokan Bapak Alquran ….”
Sampai larut malam, aku dan
Ning mencari Alquran kami. Hingga Bapak tertidur, benda itu tak ditemukan.
Muaz dimasukkan ke
pesantren!
Aku mengomel tanpa hasil, “Memangnyo Muaz tu bandit,
harus dipindah ke pesantren!”
“Kau kulaporin ke
bapak Muaz, bilang anaknyo bandit,” Gavin menyela dengan sifat
khasnya.
“Pesantren bukan untuk
bandit, Rif. Tapi untuk yang mau belajar agama. Abang aku ado yang
sekolah di pesantren jugo.” Muhsin beranjak dari mejanya, duduk di
sebelahku.
Suasana kelas cukup hening.
Kami semua menyadari akan kehilangan satu teman kebanggaan. Muaz bukan hanya
tenar di lingkungan rumah, tapi juga di sekolah. Karena memang kawanan rumah
dan sekolah adalah orang yang itu-itu juga.
“Berarti abang kau bandit,
Sin. Setahu aku pesantren memang untuk orang jahat, supayo jadi
baik.” Gavin harus menyalahkan mulutnya kali ini. Kami yang sudah muak pada
kebiasaan buruknya, sepakat memberi pelajaran berharga.
Separuh anak laki-laki di
kelas menghajar Gavin tanpa ampun. Besoknya ia tak sekolah karena sakit, lusa
kemudian kami dihukum beramai-ramai atas laporan orang tua Gavin.
Sebelumnya tak pernah ada
keributan di kelas, sebagaimana di kampung kami nyaris tak pernah terjadi
keonaran. Sampai kemudian, seseorang yang diperkenalkan bapak Muaz sebagai adik
iparnya, mengusik ketenangan kampung dengan upayanya membubarkan meja domino
Bapak.
Rumahku memang tak pernah
sepi. Bulan puasa, Lebaran, bulan haji, atau hari tanpa embel-embel apa pun,
sama saja. Usai TVRI menayangkan Dunia dalam Berita, para kepala keluarga akan
berkumpul di samping rumahku, duduk mengitari meja, lalu menyusun domino.
Tidak akan ada yang peduli
jika salah satu dari mereka kemudian mabuk lalu dimaki-maki istri saat pulang.
Jika ada yang uangnya ludes karena kalah, yang lain akan dengan senang hati
meminjamkan. Bertahun-tahun, bahkan mungkin puluhan tahun, itu terjadi.
Kampung kami hanya berisi
orang-orang baik, kecuali setelah paman Muaz datang. Pada sepuluh hari terakhir
bulan puasa, laki-laki itu muncul bertepatan dengan tragedi ledakan empat
mercon. Tak ada yang peduli padanya, kecuali aku yang benci setengah mati
karena Muaz mengatakan, pamannyalah yang meminta orang tua Muaz menitipkan anak
mereka padanya.
Paman Muaz tinggal di
masjid bersama teman-temannya. Setelah usai tarawih, mereka memberi ceramah
pada hadirin yang sudah sangat menipis. Kadang-kadang hanya tersisa mereka
saja.
Tak cukup memberi ceramah
di masjid, paman Muaz malah nekat mendatangi rumahku untuk membubarkan
keramaian yang telah bertahun-tahun dimaklumi semua orang. Maka tak hanya
peserta domino yang menentangnya, yang sedang tidur pun bangun untuk menghalau
para pengacau itu.
Masih kuingat bagaimana
Ketua RT yang baru saja terpilih, mengusir mereka dari masjid.
“Kalian sudah diberi tempat
di masjid kami. Kami persilakan solat dan ceramah di sana.” Dikasih
hati minta jantung! Dulu aku tak paham ungkapan terakhir pemimpin
kampung itu. Kemudian ia mendatangi masjid, membuang barang-barang milik paman
Muaz dan teman-temannya. Mengusir mereka malam itu juga.
Siapa yang kemudian
meredamkan suasana? Tentu bapakku.
Bapak yang mengangkati
barang-barang para musafir itu, kembali ke masjid. “Kalian datang baik-baik,
pergilah dengan cara yang baik. Sampai Lebaran tetaplah di sini, tapi setelah
itu mungkin lebih baik cari tempat yang lain.” Bapak mengucapkannya dengan nada
yang lunak, di antara naik turun bahu Ketua RT yang sedang mempertontonkan aksi
heroiknya.
Hebatnya lagi, setelah hari
itu, rumah kami sengaja dibuat sepi oleh Bapak. Meja domino diliburkan sampai
Lebaran, demi menghormati tamu kampung yang tak suka pada kebiasaan tuan rumah.
Setelah Lebaran, seperginya
Muaz bersama pamannya, keramaian rumahku kembali seperti sedia kala.
Kegembiraanku hanya setitik dibanding lautan kesedihanku atas kepergian Muaz.
Aku menandai kepergiannya
pada mejaku di kelas. Dengan sudut penggaris besi, kuserut pinggiran meja
dengan kalimat, 23 Maret 1994, Muaz pergi….
Hiruk pikuk terdengar di
halaman rumah, Bapak pun dapat mendengarnya saking riuh suasana itu. Ning
tergopoh-gopoh ke luar. Aku hanya mengintip dari jendela. Sejak Bapak tak lagi
bisa keluar rumah, aku tak tahu banyak tentang apa saja yang terjadi di luar.
“Rif, ayo ikut!” Muhsin
menggedor pintu rumahku.
“Yang tadi malam dibahas
Bang Aziz,” bisik Ning.
Aku terkekeh pelan. Semalam
anak laki-laki pertama Bapak, yang juga tetanggaku, datang menemui kami. Ia
mengundangku untuk ikut aksi unjuk rasa ke Gubernuran, menolak keputusan
pemerintah yang akan menggusur warga Kelurahan Sentosa yang tak bersertifikat.
Aku menggiring Ning ke
kamar, membuka salah satu pintu bufet kecil pemberian almarhumah Mamak.
Di dalamnya tersimpan barang-barang kesayanganku yang kularang Ning
menyentuhnya.
Di bawah tumpukan keping CD
dan kaset PS, sebuah ruang kecil tersamar oleh alas bufet. Semacam ruang bawah
lemari yang tutupnya tak berbeda dengan dasar lemari di sisi lain. Aku menarik
gagangnya yang berupa potongan kayu kecil. Di dalamnya, tergeletak aman hasil
keringatku yang tak pernah diketahui orang lain, selain Bapak.
Dahi Ning berkerut
memandangi sertifikat tanah di tanganku. Perlahan dibukanya, ia mengerti tapi
tak mampu berkata-kata.
“Abang dak perlu
ikut demo. Kito dak akan digusur, tanah ini sudah Abang beli
ke pemerintah. Sertifikat ini sah!” Kuucapkan dengan penuh kebanggaan.
“Kok biso?”
“Memang biso.
Itu kebijakan Pemerintah Daerah, Abang ini pegawai pemerintah, Abang lihat
surat edarannyo di kantor Setda, sudah bertahun-tahun lalu,
sebelum kito nikah. Semua warga lamo dapat
hak beli dengan harga yang dak terlalu mahal dari pemerintah,
tapi cuma Abang yang bayar, atas namo Bapak. Terus Abang buat surat jual beli
antara Bapak dan Abang, jadilah sertifikat ini.”
“Ayah aku jugo orang lamo,
Bang. Tapi kami dak tahu informasi itu, kami dak pernah lihat surat yang Abang
bilang.”
“Abang jugo dak
ngerti, mungkin ado yang tutupi informasi dari warga. Itu
tugas Kelurahan, bukan tugas Abang. Sudahlah, yang penting kito sudah
aman.”
Suara Muhsin masih
terdengar di muka pintu. Ning bergeming di hadapanku.
Kuambil kembali sertifikat
di tangan Ning, menyimpannya ke tempat semula. Inilah pelajaran berharga untuk
istriku tercinta. Baik berdiam demi keselamatan diri, daripada runtuh
beramai-ramai, lebih baik selamat sendiri.
Aku tidak akan ikut
melakukan aksi unjuk rasa bersama warga, sama sekali tak perlu. Ning
memandangku salah karena tak mengabarkan yang kutahu pada para tetangga. Apa
gunanya? Jika yang berwenang saja menyembunyikan informasi itu, siapalah aku
yang hendak jadi pahlawan.
Seumur hidup aku mengambil
pelajaran. Aku tak sebaik Bapak yang mampu melerai yang bertikai, menenangkan
yang kalut, atau membuka jalan bagi yang buntu pikiran. Maka sebaiknya aku pun
tak usah ambil pusing pada urusan lain. Kesalahan fatal yang diperbuat Muaz pun
menjadi peringatan. Bagaimana ia harus kehilangan nyawa akibat terlalu peduli.
Apa urusannya mengajak orang ke masjid, apa gunanya melarang orang judi dan
mesum. Toh surga neraka urusan Tuhan. Keusilan membuatnya berpikir terlalu
jauh, membunuh karena merasa tak didengar. Dan semua itu harus ia bayar dengan
nyawa. Sekarang bagaimana nasib istrinya? Bagaimana sekolah anaknya? Sebagai
kawan aku sungguh turut menyesalkan jalan hidup Muaz.
Ning memandangiku yang
tengah mendekati pintu. Muhsin makin kencang berteriak, baru terdiam saat pintu
kubuka.
“Maaf, aku tak enak badan,”
kataku, lalu menutup pintu kembali.
Cerpen ini diikutkan dalam Sayembara Cerita Pendek Kantor Bahasa Jambi tahun 2016, menempati Juara 2.
Cerpen pemenang lomba di atas adalah milikku pribadi. Ada banyak cerpen lain di iluvtari. Dan inilah naskah yang pertama masuk kategori Cerpen Pilihan!
Cerpen pemenang lomba di atas adalah milikku pribadi. Ada banyak cerpen lain di iluvtari. Dan inilah naskah yang pertama masuk kategori Cerpen Pilihan!
No comments