P E R E M P U A N |
unsplash.com |
oleh Syarifah Lestari
Pelarian itu ada di
rumahku, mengenakan pakaianku, selonjor di atas dipanku. Wajahnya tidak
menampakkan penyesalan barang segaris saja. Tapi kenapa pula, pikirku, ia harus
lari begini. Bukankah ia tidak menyesal, berarti ia sudah siap dengan akibat
perbuatannya.
“Orang yang mengejarku
tidak tahu apa yang kurasakan.” Ia menggeletak nyaman, melipat dua sebuah
bantal lama, lalu membebankan kepalanya di atas batal itu.
“Makanya kau harus
ceritakan, agar mereka tahu.”
“Kau mengusirku?”
“Sama sekali tidak.”
Segera aku menggeleng. “Aku hanya mengkhawatirkanmu. Status buron pasti
menyusahkanmu. Orang-orang akan segera tahu. Pelarianmu hanya memperjelas ketidakberanianmu
untuk bertanggung jawab.”
“Dia yang tidak
bertanggung jawab!” Kali ini ia membentakku.
Selanjutnya kupastikan
ia akan bercerita ulang tentang sebab pembunuhan yang ia lakukan dan cara ia
membunuh suaminya. Tapi kenapa ia memilih rumahku sebagai tempat persembunyian,
belum kutahu sebabnya.
Ia terlalu kuat, begitu
aku menyimpulkan. Dari cerita Rahmi, kudapati pengakuan, yang besar keyakinanku
akan kevalidannya. Rahmi tidak sekolah, tapi ia sering bertindak layaknya orang
berpendidikan. Berpendirian teguh, baik, tapi tak ingin diremehkan.
“Aku kemari karena
yakin kaulah yang paling mengerti.” Rahmi sedikit menekuk kakinya.
Aku diam saja. Kalimat
itu tak spesifik, terlalu di permukaan.
Uraian ceritanya yang
lalu bergulir lagi. Suaminya, Amran, yang terbiasa hidup nyaman di antara
setengah lusin kakak perempuan, dianggap tak berkelamin saat menghadapi dunia.
Rahmi tak seperti kakak-kakaknya, demikian pula istri Amran terdahulu.
Tak ada di dunia ini
perempuan yang bisa ngemong Amran
sebaik kakak-kakaknya. Tidak soal selera makan, merek rokok, apalagi uang jajan.
Amran tak biasa cari uang, jika bekerja ia sakit. Semua kakaknya paham, begitu
pun ibu, bahkan bapaknya yang bukan perempuan.
“Lalu aku hamil,” Rahmi
melengkapi ceritanya yang sudah pernah kudengar. “Dia sangat suka dan berharap
anak kami laki-laki. Tapi aku tidak. Sejak menikah dengannya, bagiku laki-laki
adalah parasit.”
Kemudian Rahmi
memelihara perutnya sendiri. Cek kandungan dan menutrisi janinnya dengan
keringat yang ia dompeti. Dunia sudah terbolak-balik. Laki-laki bernama Amran
itu, kepalanya tercemari keperempuanan yang menjadi-jadi ketika berurusan
dengan nafkah. Sedangkan enam kakak perempuannya begitu ksatria
menjaga pangeran bungsu tak berotot itu.
“Bukan dia yang
menikahiku, tapi aku yang menikahinya. Aku membelinya sesuai adat, tapi
bertahun hidup dengannya, aku masih terus membeli. Niaga yang merugikan.”
Tawaku tertahan
mendengar kalimat terakhir Rahmi. “Tidurlah,” rayuku kemudian.
“Begitu anakku lahir,
kerugian makin menggerogotiku ….” Rahmi terus bercerita. Kelopak matanya ditahan-tahan agar tak mengatup, tapi ia
kalah. Bibirnya terus bergumam, meski selanjutnya hanya kedengaran seperti
ceracau, tapi ruang imajinasiku menampilkan gambar bergerak yang demikian
sempurna.
Lihat Contoh Kalimat Majas Personifikasi di Sini!
Anak Rahmi laki-laki.
Sangat normal, lincah dan sehat. Tapi makin hari bayi yang terus tumbuh butuh
biaya untuk ia menjadi anak, remaja, kemudian dewasa. Amran tak punya kekuatan
untuk menumpu buah hatinya. Bukankah untuk perutnya sendiri pun ia harus
mengais kantong istri. Maka sebagai bungsu yang lemah, ia mengadu pada kakak-kakaknya.
Terjadilah rembuk keluarga besar. Tanpa Rahmi.
“Malam itu ia
mendatangiku dengan lembut. Membelaiku. Seperti pejantan. Sangat laki-laki,”
Rahmi tersenyum dalam igaunya. “Besar sekali cintaku untuknya. Kecuali setelah
ia memaparkan hasil rapat mereka.”
Keluarga besar
memutuskan, Rahmi harus merantau ke luar negeri untuk memperbaiki kondisi
ekonomi rumah tangganya. Ia diberi hak penuh untuk memutuskan ke mana hendak
mengadu nasib. Ringgit, real atau dolar,
jauh lebih bernilai daripada rupiah yang nolnya kepanjangan.
Rahmi dijanjikan
kemudahan soal surat-menyurat dan anak. Segala dokumen akan diurus oleh para
ipar, anak semata wayang pastinya dijaga dengan sangat baik oleh keluarga
besar.
“Meski yatim piatu, aku
masih punya keluarga. Biar begitu, tak mungkin kuberi anakku pada siapa pun!” Setengah
berteriak Rahmi dalam tidurnya. “Aku kira aku seorang penyabar,” ia terisak.
“Tapi mereka menyimpulkan bahwa aku bodoh.” Tersedu-sedu.
Rahmi menolak keras
permintaan Amran. Dan malam itu pula ia menanggung konsekuensinya.
“Ia memukulku, hal yang
tak pernah terbayang, karena kupikir ia sudah terlalu durjana dengan kemiskinan
yang ia sengaja. Aku tentu membalas, karena aku tidak lemah dan tidak bodoh.
Aku yang menghidupinya, durhaka ia padaku.”
Amran kesulitan
menghadapi amukan Rahmi, ia berlari keluar rumah. Menuju rumah salah satu
kakaknya yang hanya selemparan bata.
Keributan hebat tak
terhindarkan. Anak laki-laki Rahmi diungsikan ke tempat yang aman, versi
iparnya. Tapi penyelamatan itu justru membuat akhir keributan yang lebih hebat.
Rahmi menikam Arman, bertubi-tubi tanpa ampun!
“Kau setan paling
iblis, tak ada perlindunganmu untukku. Kau tiduri aku, kau bebani punggungku,
sekarang kau bunuh aku dengan mengambil satu-satunya hartaku!” Rahmi histeris.
Tangan kanannya seolah menggenggam sesuatu, bergerak berayun berulang-ulang.
Ruang imajiku menggambarkan ia tengah menanam-cabut pisau ke dada dan perut
Amran.
“Rahmi, tenanglah. Kau mengigau.” Terpaksa kubangunkan ia. “Minumlah!” kuangsurkan segelas air putih ke hadapannya. Tangan kiriku menopang tubuhnya yang menggigil.
Rahmi terisak-isak.
Lalu mendadak diam. Menerawang. Kemudian tertawa. “Aku berhasil membasmi
parasit,” ujarnya bangga.
Sekarang Rahmi bukan
lagi seorang buron, tapi perempuan depresi yang bingung antara lari dan
kembali. Sarafnya saling memilin saat ia mencari cara untuk mendapatkan anak
tanpa tertangkap oleh siapa pun. Kecerdasannya tumpul karena kekalutan.
“Aku yakin kau tahu
perasaanku.” Tiba-tiba Rahmi menatapku lekat. Penuh harap.
“Kau datang padaku, karena beranggapan bahwa tak ada yang mengira kau kemari kan?” Tanyaku,
meyakinkan kebenaran tebakanku.
Rahmi menggeleng. “Kau
istri pertamanya, kau pasti merasakan hal yang sama denganku.” Ia menarik napas
perlahan. “Tapi kau tak sehebat aku!” Ia berseru. “Kau hanya sebentar, tak
sabar menghadapinya. Lalu kau tak bisa menyelesaikan hidupnya seperti aku.”
Rahmi melepas lenganku yang semula menumpunya. Kemudian melompat-lompat girang
sambil meledekku.
Tak lama ia duduk
bersimpuh. “Tolonglah! Tolong aku, tak apa aku tinggal di jeruji. Asalkan
bersama kekasihku, Habibi ….” Terisak lagi. Sambil menimang lengannya sendiri.
Lalu berulah seperti orang mengajari anaknya berjalan, menggendong, dan
menciumi lengannya dengan hirupan khas seorang ibu.
Rahmi telah merekam
aroma buah hatinya, seperti aku merekam ceritanya. Seperti kami merekam luka
yang sama, dan ia berhasil memutus sejarah si pemahat luka dengan mengorbankan
separuh lebih kewarasannya.
Aku tafakur.
Salam kenal k. Saya suka banget kisah ini, bukan bermaksud menggurui atau berlagak bagai juri. Tapi cerpen ini sangat berisi. Saya suka sekali dengan gaya menulis kk. Suka banget. Di akhir cerita saya menangis, fix!
ReplyDeleteterima kasih ...
Deletepahit, kelat, asam manis, aduk saja!
ReplyDelete