Jadi mungkin beberapa hal gak relevan di masa sekarang. Seperti soal sinyal, soale orang Bahar sudah pakai WA, dan bisa chatting real time. Kemudian soal kaya karena sawit, dulu kan harganya memang masih tinggi. Intinya, nikmati ajalah! Gretong ini!
L A R I !
ilustrasi dari unsplash.com |
cerpen Syarifah Lestari
Tiba-tiba pintu didobrak! Yusril
terdiam, bingung. Tapi kemudian panik karena Saminah entah kenapa berteriak
seperti orang ketakutan. Gadis itu menarik kain yang sejak tadi tergeletak di
sampingnya, menutup kain itu ke dada, dan menangis seperti orang yang
tertangkap basah melakukan perbuatan tak layak.
Belum habis kebingungan Yusril,
sebuah tinju mendarat di wajahnya, disusul kepalan-kepalan lain yang berhasil
ditahan beberapa dari mereka sendiri. Lalu ruangan riuh oleh celaan orang-orang
yang tiba-tiba saja telah memenuhi rumah Saminah.
***
Mungkin Yusril bukan anak baik
atau mahasiswa yang cerdas. Ia hanya meneruskan tradisi leluhur, merantau ke
tanah orang untuk pulang sebagai pemenang. Maka nasib melemparkannya ke tanah
Jambi yang konon, oleh Tuhan telah diberkahi*.
Burung pipit bersikejar di
kabel-kabel listrik tengah kota, awan putih menggumpal merata, perlahan-lahan menyusul matahari ke barat. Di
kolong langit yang sebelumnya memanas hebat itu, Riani bersandar mesra pada Yusril yang
sebenarnya telah berulang kali menunjukkan keberatannya. Sepeda motor merapat
ke parkiran, tapi gadis itu
tak mengendurkan pelukan.
“Kenapa, Bang? Hari gini pacaran di depan umum sudah biasa.”
“Tapi ini masih kota kecil, tak enak dilihat orang,” tolak Yusril.
Riani justru makin merapatkan bagian depan tubuhnya pada punggung Yusril,
kepalanya menyisip ke bahu kanan pria jangkung itu. “Abang jadi ke Bahar?”
Yusril mengangguk.
“Sebentar saja, kan? Belum pergi
saja aku sudah rindu.”
“Tenanglah, aku hanya menagih
utang. Begitu uang itu kudapat, aku akan segera kembali.”
“Sudah kubilang, aku punya banyak
untukmu.” Riani menggelayut manja. “Tak perlu ditagih utang itu, anggap saja
aku yang bayar.”
Yusril diam. Cerita utang hanya
siasat. Dalam bulan-bulan yang sama dengan perjalanan cintanya, Yusril punya banyak cinta lain, yang membuatnya harus
hati-hati berperilaku. Termasuk saat berdua dengan Riani seperti sekarang. Ada banyak mata di kota sekecil Jambi.
Salah satunya, seorang yunior Yusril di kampus. Ia
tak butuh hati untuk seluruh cintanya, Yusril punya cita-cita yang jauh lebih besar dari sekadar asmara
atau bahkan rumah tangga.
Adalah Saminah, gadis penggemar
sinetron yang tergila-gila pada Yusril. Meski sangat tidak cantik, ia punya segalanya.
Jangan tanya soal materi, ia anak orang terpandang di kampung. Orang tua
Saminah adalah keluarga yang terdaftar sebagai transmigran dari Pulau Jawa ke
Sumatra puluhan tahun silam. Mereka mendapat jatah sebuah rumah dan sepetak
kebun sawit di Sungai Bahar, salah satu kecamatan di sebuah kabupaten yang padat dengan
berhektar-hektar hutan sawit.
Dalam waktu beberapa tahun, orang tua Saminah berhasil memperluas kebun
sawitnya, pulang-pergi ke tanah kelahiran di Jawa, dan dijamin mampu
menyekolahkan anaknya setinggi yang mereka mau.
Tapi jangan tanya Saminah tentang
nilai kuliahnya, jangan pernah.
“Jadi membeli oleh-oleh?” Tanya Yusril
pada Riani yang masih betah mendekapnya.
“Iya,” jawab gadis labil itu malas. Kemudian dengan gerakan
sangat lambat ia turun dari sepeda motor.
Yusril memandangi langkah Riani
yang melenggok dibuat-buat
untuk menarik perhatian lawan jenisnya.
Tak ada setitik pun cemburu di hari
Yusril, bahkan jika ditelurusi hingga ke palung dadanya.
Sekeranjang buah yang ditata apik berpindah
dari tangan Yusril ke Saminah. Wajah gadis itu berseri-seri, sangat bahagia.
Kedua orang tua dan tiga adiknya telah pula dipersiapkan untuk menyambut
kehadiran calon anggota keluarga yang baru.
Sambutan tuan rumah yang terlalu
berlebihan, membuat Yusril gugup. Tak menyangka akan demikian istimewa ia
diperlakukan.
“Kemari, ini kamar Nak Yusril,”
kata Ibu Saminah sambil membuka pintu sebuah ruangan yang sudah ditata rapi dan
wangi. Garis wajah perempuan yang
sangat keibuan itu menjanjikan perlakuan terbaik terhadap siapa pun.
Yusril makin gugup. Ia hanya
datang untuk bertandang barang dua tiga jam, tidak berniat menginap. Janjinya
pada Riani, yang menyiapkan oleh-oleh di kota tadi, tak boleh diingkari. Riani gampang menangis dan sulit melupakan
kesalahan orang.
“Tapi …” Yusril terbata.
“Abang belum bayar uang semester,
kan?” Saminah berbisik. “Ayahku baru bisa memberi nanti malam, setelah seluruh
sawit minggu ini usai ditimbang.”
Yusril mengangguk patuh. Ia benci
keadaan ini, tapi menikmatinya adalah satu-satunya jalan yang tersedia. Tas
ransel ia letakkan di samping tempat tidur ukuran sedang yang nyaman. Ia
beristirahat sejenak di atas kasur, menyandarkan bahu di kepala tempat tidur. Di
sebelahnya, sebuah jendela besar terbuka sempurna menghadap kolam buatan, di
atas kolam ikan dibangun kandang ayam berupa rumah-rumah kecil yang saling
menggandeng.
Yusril merogoh saku celananya,
lalu menggerutu saat melihat layar ponsel yang tak menampilkan nama perusahaan
operator langganannya. Berarti tak ada sinyal, tak ada layanan.
Saminah menyusul masuk ke kamar,
duduk bersebelahan di atas tempat tidur yang sama. Larik-larik jingga melukis
kanvas langit di jendela, lukisan abstrak itu mengantar hari pada
kematangannya. Menjadi gelap pertanda malam telah datang.
Sebuah ketukan menjeda obrolan
Saminah dan Yusril, adik Saminah masuk mengantarkan makan malam, sesuai titah orang
tua. Lalu keluar tanpa diminta, tak lupa menutup rapat pintu kamar tamunya.
Obrolan berlanjut, Saminah menutup jendela karena nyamuk serta merta menyerbu
mereka.
“Kita makan di luar saja,” pinta Yusril
sembari membawa piringnya.
“Di sini saja, tak enak makan
beramai-ramai di luar,” tolak Saminah.
“Terlalu temaram, tak terlihat apa
yang dimakan.”
“Kalau tak terlihat, biar
kusuapkan.” Suara Saminah mendayu manja.
Yusril tersenyum, Aku tidak
saleh, tapi juga tidak buta, kata hatinya. Tapi Saminah jadi salah tingkah
dengan senyum itu.
Suara televisi di ruang tamu
melebihi biasanya. Tiga adik Saminah berjajar rapi di depan kotak penghibur
itu, dengan ibu mereka sebagai operator, yang paling berkuasa memilih saluran. Ayah
Saminah pamit pada istrinya, ke suatu tempat yang telah mereka sepakati
kemarin.
Saminah membersihkan sisa makan
tanpa beranjak dari kamar tempat ia dan Yusril beradu bincang. Obrolan yang
sejak awal tak tentu arah kembali dilanjutkan. Sama sekali bukan obrolan mesra,
keduanya saling tarik menarik tema, dan tak ada yang menang.
Yusril ingin membincangkan rencana
melanjutkan kuliah ke jenjang yang lebih tinggi agar menjabat posisi lebih baik
di pemerintahan, atau membuka usaha sendiri dan baiknya memetakan modal dari
sekarang. Tapi Saminah lebih tertarik dengan jumlah anak yang bisa dihasilkan
dan besaran modal nikah, yang menurut Yusril, lebih baik dibelikan emas
batangan untuk investasi jangka panjang.
Tidak perlu kesepakatan untuk
perbincangan yang semakin tidak menarik bagi keduanya. Mereka sama tak peduli
pada maksud hati lawan bicara. Maka ujung dari tetek bengek makan dan bicara
itu adalah keheningan.
Bersama bahana televisi yang
mencapai isi kamar, deru napas adik-adik Saminah berkejaran memberi tanda,
bahwa mereka telah pulas. Saminah menatap Yusril dalam.
Gerakan angin melambat di kamar
tamu rumah Saminah. Sama sekali tak ada suara di dalamnya, kecuali langkah
jarum jam dinding menyusuri angka-angka pada lintasannya. Tidak terjadi
apa-apa, hanya gemuruh di dada Saminah yang melahirkan kemelut di kepala Yusril.
Lalu tiba-tiba, orang-orang yang
entah dari mana menyerbu masuk!
***
Telah diputuskan, keluarga Saminah
harus melakukan Upacara Cuci Kampung. Jika tidak, Saminah dan Yusril terancam
diarak keliling kampung dalam keadaan tak berpakaian. Yusril menolak keras,
karena ia dengan penuh kesadaran merasa tak melakukan apa pun. Namun yang
mematahkan argumentasinya justru orang tua Saminah. Maka ketika Saminah
mengingatkan biaya kuliah, Yusril kembali patuh. Ia akan diupacarakan, lalu
dinikahkan dalam waktu dekat.
Upacara Cuci Kampung adalah budaya
antah berantah yang terus dipraktikkan dengan alasan tak masuk akal; untuk
menjauhkan balak disebabkan perbuatan amoral yang dilakukan di suatu tempat. Jika
di banyak kasus, budaya dipolitisir. Maka
Cuci Kampung adalah politik yang dibudayakan. Intinya adalah pajak dan
bersenang-senang.
Seluruh biaya Cuci Kampung ditanggung
orang tua Saminah. Yusril hanya diberi kewajiban mengakui dan patuh. Kewajiban
ringan yang sungguh memberatkannya. Ada bayang-bayang warisan mertua yang cukup
membuat hatinya berbunga. Tapi Yusril tak punya keberanian melepas gadis-gadisnya yang lain di kota.
“Nak Yusril akan betah tinggal di
sini, saya jamin. Semua yang kamu butuhkan pasti tersedia. Termasuk
barang-barang bagus yang hanya ada di kota, tinggal telepon seseorang di sana,
nanti barang akan sampai ke rumah ini.” Ayah Saminah menenangkan calon menantunya
yang masih nampak gundah di suatu pagi, dua hari berikutnya.
Mereka bertemu di halaman belakang
rumah yang memamerkan sedikit saja kekayaan keluarga Saminah. Ternak dan
sayuran dipagar rapi dalam halaman yang luas. Di sisi-sisi pagar, berjejer
sepeda motor sebanyak jumlah penghuni rumah.
“Mau iPhone? Mobil? Bahkan
kebun sawit, sudah saya siapkan untuk semua anak-anak saya,” tambah laki-laki lima
puluhan itu.
Yusril mulai bosan dengan iming-iming
keluarga Saminah. Karena baginya, setiap janji seperti lapisan dinding yang
akan makin mengurungnya dalam kuasa mereka. “Bilang ayahmu, aku ingin sinyal!” Bisiknya
pada Saminah yang terus setia di sisinya.
“Untuk apa sinyal, kita tak perlu
undang kawan-kawan di kota.” Saminah malah menjawab bisikan itu dengan suara
lantang.
“Aku juga tak ingin mereka tahu
kita menikah,” balas Yusril.
“Tidak akan tahu sampai masa yang
teramat lama.”
“Kenapa begitu?” Dahi Yusril
berlipat.
“Karena kita akan tetap di sini.
Barang-barangmu akan diganti oleh Ayah. Tak akan masalah, orang tuaku mampu
mengganti sepuluh kali lipat.”
Ayah Saminah membenarkan, lalu
pergi begitu saja.
Yusril mematung. Setengah mati mengatur
ritme napasnya yang hendak meledak karena emosi. Dan ia berhasil. Tak berguna
mendebat Saminah, gadis itu punya senjata yang sangat ia agungkan.
Aku punya cita-cita yang jauh
lebih besar dari sekadar tua di tempat ini! Yusril berteriak, tapi hanya
gumaman permintaan yang keluar dari mulutnya, “Siapkan pakaian, aku hendak
mandi sebentar. Di sini panas.”
Saminah masuk ke rumah, mengambil
pesanan.
Begitu pintu menelan bayangan
Saminah, Yusril melompat ke sisi halaman terdekat, melompati pagar dan berlari sekencang
yang ia mampu, ke arah tersunyi.
Lima menit berlari, ia telah masuk
ke kebun sawit. Lebih jauh, Yusril menerobos tanaman-tanaman rimbun yang masih
saja diselingi pohon kelapa sawit. Hutan menyambutnya, setiap setapak yang ia
temui, diikuti dengan terus mengingat belokan yang telah dilalui. Dengan
demikian, Yusril memastikan ia tidak salah arah atau kembali ke rumah Saminah.
Sesuatu di saku celananya
bergetar. Yusril nyaris terpekik kegirangan. Ponselnya menemukan sinyal! Sebuah
pesan masuk, Abang kenapa belum pulang?
Yusril menekan beberapa tombol,
memanggil si pengirim SMS. “Sayang, Jemput Abang di terminal!”
***
Riani menutup telepon, segera ia bersolek
sebelum menjemput pujaannya.
***
Yusril menciumi ponselnya, senang
bukan kepalang. Langkahnya kian ringan berlari, hingga keluar dari setapak yang
ia rasa sudah sangat jauh, Yusril terbelalak. Rumah Saminah tepat berada di
hadapannya.
*lirik lagu daerah Jambi
populer
No comments