Malin Kundang
ilustrasi dari unsplash.com Oleh Syarifah Lestari Alkisah, sebelum dikutuk bundanya jadi batu, Malin Kundang sempat bertandang ke Jambi. Ia merantau ketika Angsoduo masih berupa pantai yang ramai.
Kepiawannya
berdagang makin menjadi-jadi di tanah orang, Malin memilih kabau sebagai dagangan
utama, sumber nafkahnya selama di perantauan.
“Saya heran,
Tuan berlayar jauh kemari hanya hendak berjualan biji-biji ini?” Tanya seorang pedagang
lain pada Malin,
sembari memainkan beberapa buah kabau di tangannya.
“Tak apa, paling
tidak telinga saya aman di sini,” jawab Malin tenang.
“Ada apa dengan
telingamu?”
“Di kampung, apa
pun yang saya buat tak pernah berkenan di hati Bundo. Pantang dia berkasih
sayang pada anak yang katanya lahir dari kandungnya ini.”
Pedagang kawan
Malin tercenung, ia mendengarkan dengan khidmat.
“Kalau saya
bangun subuh, ia mencela, hendak merampokkah? Bila bangun lewat pagi, makin
binasa saya dibuat,” keluh Malin.
“Benar ia ibu kandung?” Kawan Malin keheranan.
“Bingung kan,
Tuan,” Malin tergelak. “Begitulah, Apak keburu wafat sebelum saya tanya.”
Kawan Malin
tersenyum kecut. “Kalau begitu biar saya bantu lariskan dagangan Tuan. Ini saya
beli separuhnya, biar dijual lagi di dekat rumah.”
Si kawan
menyerahkan beberapa keping uang, tapi Malin menolak.
“Tak perlu
begitu. Saya sudah yakin, dari sini saya akan bawa pulang banyak harta untuk
menyenangkan hati Bundo. Tuan perlakukan saja saya layaknya manusia, itu sudah
cukup.”
Kawan Malin
terharu sendu.
Meski masa itu
belum ada motivator atau trainer entrepreneur, nasib telah mengabulkan
mimpi Malin Kundang dengan menjadikannya pedagang muda yang berhasil. Dan
selayaknya perantau sukses, Malin berniat membawa harta bukti kejayaannya ke
kampung halaman.
“Tak lama kan
Tuan pulang?” Tanya
si kawan yang melepas Malin di pelabuhan.
“Tentunya
begitu, bukankah tanah ini sudah saya genggam? Nanti Tuan ambil pula kalau saya
lepas,” Malin menjawab dengan candaan.
“Saya punya
keponakan perempuan yang santun lagi cantik. Tak akan rugi Tuan meminangnya,”
kawan Malin menyampaikan maksud utamanya.
Malin tersenyum
saja, ia mengangguk-angguk tanpa suara. Ada putri Minang yang menunggunya di
kampung halaman, itu juga sebab Malin ingin pulang.
Laut menyambut
Malin ramah, menghidangkan udaranya yang segar, kicau burung laut yang merdu,
juga ombak yang mengayun laksana buaian. Malin pulang dengan selaksa rindu dan
kebanggaan. Tapi bukan hanya mata orang yang ia harap atas apa yang ia bawa,
tapi hati Bundo yang ingin ia gapai dengan keberhasilannya. Malin mencoba
memanggil kenangannya pada senyum Bundo, meski dengan susah payah, hadir juga
gambar itu di kepalanya.
***
Review Novel "Sebuah Janji di Pulau Kecil"Tidak ada yang istimewa ketika Malin menapakkan kakinya di pelabuhan. Semua orang masih kenal dia, tegur sapa pun masih layaknya semula saat ia belum merantau. Tapi sebagian orang seperti kaku kala melihat Malin, mereka orang-orang yang masih ada hubungan kerabat atau kenalan dekat Bundo Malin Kundang.
Tapi Malin terlalu
bahagia untuk memikirkan beberapa keganjilan. Ia setengah berlari menuju gubuk
yang tahunan lalu ia tinggalkan.
“Bundoo!” Teriak Malin di muka
pintu.
Seorang
perempuan tak terlalu tua mendatanginya setelah mengira-ngira siapa gerangan
yang memanggil.
“Pulang kau,
Nak?” Ia menyambut.
“Iyalah Bundo,
rindu saya pada kampung ini.”
“Bawa apa?”
“Tak Bundo tanya
dulu bagaimana perjalanan saya, bagaimana saya dirantau?” Malin berulah manja.
“Sudah sering si
tua ini dapat cerita tentang orang dirantau, itu-itu sajalah isinya,” elak
Bundo.
“Tapi ini anak
Bundo sendiri, bukan orang lain,” Malin tak puas, kanak-kanaknya rindu.
“Apa pula ini!
Kau datang membawa cara bantah-membantah dari tanah orang?”
Malin langsung
tutup mulut, sadarlah ia kembali, siapa orang di hadapannya. Dan serta merta
awan yang tadi bersamanya terasa menghitam dan ambruk di depan matanya.
Keramahan laut sudah berganti gersangnya hati melebihi kegersangan tanah mana
pun di bumi Pencipta.
Malin membuka
buntalan yang ia bawa. Dengan lunglai ia bergerak, sementara mata Bundo
membulat tak sabar.
“Hebat sekali
kau Nak!” Bundo terbelalak melihat hasil jerih payah Malin. “Tak salah kau
melalang jauh ke negeri orang.”
“Di sini pun
saya bisa kaya, Bundo. Jika hati tenang, tangan kaki mudah bergerak.”
“Apa kau
bilang?” Bundo Malin beralih sejenak dari kain dan emas di hadapannya.
“Tak ada.” Malin
berlalu.
Di
luar, angin menerpa-nerpa wajah Malin, menghiburnya dari kegalauan. Malin bukan
pujangga, tak pandai ia merangkai kata untuk disenandungkan, maka hanya sepakan
kaki yang mewakili gemuruh di dadanya. Pasir-pasir putih nan lembut berhambur
naik hingga ke lutut, dalam bungkam, Malin membiarkan tetes demi tetes air jatuh
dari matanya.
“Baru datang kau,
Malin?” Seseorang menyapanya.
Malin menoleh
pelan, tanpa diseka, air di matanya telah tiada, tinggal kaca yang jika
dikerjap akan pecah dan menjadi titik air kembali. Di sisinya berdiri Pakwo,
kakak sulung almarhum Apaknya.
“Apa kabar
Pakwo?” Tanya Malin seketika
ramah.
“Masih seperti
inilah. Bagaimana pula keponakan saya yang katanya membawa lari uang hasil
panen orang?” Pakwo langsung pada inti.
“Apa maksud
Pakwo?”
“Saya seoranglah
yang pantas kau dengar, Nak. Karena saya seorang yang percaya pada tabiatmu
meski lisan yang kaupunya jarang kaugunakan.”
Malin
menghentikan langkah. “Ceritalah Pakwo, ada apa gerangan?”
“Ada kau pergi
karena melarikan diri, Nak?” Suara
Pakwo merendah.
Malin menggeleng
cepat.
“Di sini, semua
tahu kau pergi sebab termakan harta orang. Dan kau pergi meninggalkan utang
pula, maka semua orang iba pada perempuan di rumahmu itu. Mereka berkumpul
mendengarkan dongengnya tentang putra durhaka yang pergi meninggalkan ibu yang
selalu menyayanginya.”
“Sudahlah Pakwo,
sakit saya mendengarnya.” Malin menangis tak ragu. Sudah sering ia demikian di
hadapan Pakwo.
“Pakwo kau ini
tahu yang sebenarnya. Uang yang dia sebut-sebut kau bawa lari pastilah telah
habis di perutnya, dan belas kasih orang kampung tentu memenuhi lumbungnya
selama kau pergi. Saya kenal Apakmu yang menurunkan tabiat baik padamu. Dan
saya paham siapa perempuan kalian itu.”
Malin membisu.
“Baik kau pergi
dari sini. Namamu sudah rusak, Pakwo tak punya kuasa memperbaikinya.”
“Saya ingin
bertemu Nur sejenak,” jawab Malin.
“Bersiaplah
untuk segala yang terburuk.” Pakwo memeluk Malin, membelai punggungnya syahdu.
“Pakwo rindukan kau, tapi tempat ini tak sayang padamu.”
Malin tak mau
berprasangka buruk atas sikap orang tua terpercaya itu, ia segera melangkah ke
rumah Nur. Cinta anak muda, di masa mana pun, tak beda gemuruhnya.
***
“Uni di kamar,
tak dibenarkan keluar berapa hari ini,” ujar adik Nur pada Malin yang berdiri
di muka rumahnya.
“Kenapa tak
boleh keluar?” Tanya
Malin pada gadis kecil itu.
“Uni akan segera
menikah, dengan Uda Faisal. Kata Apak, Uda Malin tak layak menyunting Uni. Uda
buruk perangai.” Biasa saja nada bicara anak itu, ia asyik membelai boneka dari
kayu di tangannya.
“Siapa bilang
Uda Malin buruk perangai?” Tanya
Malin lagi.
“Semua orang,
dari Bundo Uda Malin sendiri.”
“Uni kau
percaya?”
Anak itu
mengangkat bahu, dan tanpa peduli masuk ke rumahnya kembali, meninggalkan Malin
di luar.
Malin menunggu
apa yang terjadi selanjutnya, tapi tak terjadi apa-apa. Anak itu tidak kembali
lagi, Nur maupun anggota keluarganya yang lain juga tak satu pun keluar. Malin
Kundang tergugu. Ia pulang.
“Wahai pasir,
saya akan tinggalkan kau,” Malin berucap pada pasir yang kembali ia sepak
tinggi sembari melangkah. “Minta pada tuhanmu agar buang ingatan saya tentang
Bundo. Tersiksa saya dengan kedurhakaan ini, sudah bertahun-tahun, tak saya
temukan di mana letak hati ibu di sekujur tubuh Bundo. Biar saya tak sakit
terus menerus, buat saya lupa pada orang yang sungguh saya sayangi itu. Dengar
kau, Pasir?” Malin larut dalam dukanya.
Malin tak pamit
pada Bundo. Ia kembali ke pantai, menunggu kapal yang akan segera berangkat dan
membawanya kembali ke rantau.
Bertahun-tahun Malin
tak pulang, ia tak lagi rindu Bundo, karena pasir telah menyampaikan amanahnya.
***
“Apa saya
bilang, tak rugi kan Tuan menyunting keponakan saya,” kawan Malin sesama
pedagang menggodanya, di hari ketiga pernikahan Malin dan Puti.
“Dia perempuan
baik, sama seperti pamannya,” ujar Malin sembari mengangguk senang.
“Ke mana kiranya
kalian akan bersenang-senang?”
“Keponakan Tuan
minta dibawa ke kampung saya.”
“Bagus,
pertemukan ia dengan Bundo Tuan, mungkin bisa membuat perangai mertuanya membaik.”
Dahi Malin
bertambah goresnya. Ia berpikir keras, siapa
bundo yang dimaksud pamanku ini?
Kawan sekaligus
pamannya menepuk bahu Malin, “Tak usah bimbang, Tuan. Saya boleh ikut serta?
Biar saya bantu Tuan jelaskan ke keponakan saya jikalau ia heran dengan sikap orang
tua itu.”
Malin tak
menjawab. Tapi bagi kawannya, itu berarti setuju.
Orang-orang
berkerumun menyambut kapal termegah yang tengah merapat. Itulah kapal paling
sempurna yang pernah mereka lihat. Siapa pula yang datang, pikir semua orang.
Bundo Malin Kundang ada di antara mereka.
Kawan Malin
telah pula berhasil dalam perdagangannya. Maka harta yang Malin punya, bersama
pemberian sang paman pada keponakannya, cukuplah untuk memeriahkan pernikahan
mereka yang masih hangat.
Sangat perlahan,
Puti dan Malin berjalan di titian. Tahulah Bundo, siapa yang datang. Serta
merta ia berlari ke perahu yang mengantar Malin dari kapal ke pantai.
“Malin, makin besar
kau kini!” serunya bahagia.
Malin tak
mendengar seruan itu, kerumunan orang mengeluarkan suara berdengung-dengung.
“Hai Malin, hai
anakku!” Bundo berteriak kembali, kini ia telah mencapai kepala perahu yang
tengah merapat.”
“Siapa gerangan
itu, Abang?” tanya Puti pada Malin.
“Saya tidak
tahu.” Malin keheranan.
“Coba diingat
kembali, dia mengenal Abang sepertinya.”
Malin mengikuti
pinta istrinya. Tapi benar saja, tak ada jejak kenangan tentang perempuan tua
di hadapannya itu.
Bundo Malin
mendengar percakapan anak dan menantunya, maka naik pitamlah ia seketika.
“Biadab sekali
kau! Di perut ini kau saya simpan sembilan bulan, sekarang berlagak tak kenal?”
Malin dan
istrinya kebingungan.
“Pasti ini
karena kau perempuan!” Bundo Malin mengacungkan telunjuknya ke muka Puti.
“Sebelum merantau kembali, anak saya sudah kaya, tapi dia tidak lupa ibu
kandungnya. Sekarang, setelah berdamping dengan kau, dia bilang tak kenal saya!
Kau benar-benar
lupa karena terminum ramuan dari perempuan itu, atau kau pura-pura karena takut
saya minta hartamu?” Bundo Malin kesumat tanpa henti.
Semua orang
terdiam melihat adegan itu, pun kawan Malin yang duduk di buritan perahu.
“Coba Abang
bersujud, supaya darah Abang sampai ke kepala, jadi Abang ingat siapa perempuan
ini. Tak enak saya dengar ucapannya,” istri Malin meminta.
Malin kembali
menuruti permintaan istrinya, ia turun dari perahu dan bersimpuh untuk bersujud
sebagaimana yang diminta.
“Dan kau, lebih
patuh pada perempuan itu daripada saya!” Bundo Malin kembali meraung. “Wahai
tuhannya air, bertahun-tahun saya minta kembalikan anak saya, tapi tak Kau
beri. Sekarang biarkan ia tetap di sini tanpa daya, hingga layak ia
dikasihani!”
Kemudian angin
menderu-deru di langit pantai. Tubuh Malin kaku, ia tersungkur begitu saja di
kaki Bundo. Lalu datanglah gelombang menghempas kapal hingga luluh. Sebagian
orang berlarian menjauh, sebagian lagi bertahan di kakinya.
Tak lama
kemudian, keheningan merajai tempat itu. Alam kembali tenang, tapi Bundo Malin
terperangah. Anak tunggalnya membatu di hadapan.
“Saya terkenang
ucapan seseorang di Tanah Arab sana, kau mendurhakai anakmu sebelum dia
mendurhakaimu*,” kawan Malin berujar datar, ia gandeng keponakannya yang terhenyak
hingga pandangannya kosong.
Mereka berjalan
menyusuri pantai, mencari kapal utuh yang bisa ditumpangi untuk kembali.
Sementara di hadapan batu yang tersungkur, Bundo Malin Kundang meratap sedu
sedan.
*ucapan Umar bin Khatab pada seseorang yang
mengadukan kedurhakaan anaknya.
|
No comments