R A N T A I |
Orang-orang
menangis, ada yang lambat-lambat ada pula yang histeris. Kendaraan-kendaraan
yang ketika jauh nampak kencang, mengurangi kecepatan demi menghormati bendera
kuning yang berkibar mengawal di dua sisi gang.
“Dia pahlawan!” Begitu teriak Mak di
samping jenazah abang semata wayangku.
Istri almarhum
segera mengiyakan. Aku diam saja bersama beberapa pelayat. Pelayat lain
mengangguk agak malas. Aku bukan pendendam, tapi ingatanku terlalu kuat untuk
melupakan kenangan seatap dengannya.
“Apa kataku,
kita dipukuli lagi, kan!” Abang mendorong kepalaku.
Aku diam saja.
Ide memalak orang berasal dari kepalanya, ia yang ragu, dan instingnya benar.
Tapi kepalaku yang disalahkannya.
“Kau tak punya
pikiran sendiri, mengikut saja.” Abang duduk memegangi dahinya. “Harus usaha
lagi, kalau tidak, tak tentulah sekolahmu.” Ia menghela napas.
“Tak apalah, aku
tak minat lagi.”
“Mau jadi apa
kau tanpa sekolah? Nilai-nilaimu bagus, maka kau harus tetap jadi orang
berpendidikan. Biar aku menjadi hantu jalanan, aku sudah telanjur rusak. Bodoh,
nakal, tak berguna.”
Menangis aku di
depannya. Abang terbaikku memaki diri sendiri karena takdir tak menyalaminya
dengan baik.
“Jangan
menangis. Air mata itu untuk orang yang kalah!”
Dia keliru lagi.
Tapi aku diam, menahan sesak di dada. Lalu kutuju kamar kami berdua. Abang tak
ikut, ia memikirkan ide lain sambil berjalan-jalan.
Kulanjutkan
tangis di petak sumpek itu. Di antara tikar yang telah menyatu dengan tanah dan
lemari tak berpintu, kulepas emosi. Dengan menangis, aku menjadi lega. Entah
prinsip atau ketiadaan pilihan.
Abang tak pernah
menangis. Sekalipun sekujur badannya kerap merah berbekas tangan Mak. Atau
seperti tadi, ketika dikeroyok anak-anak sekolah lain, yang adik salah satu
dari mereka diperas abangku demi membayar uang bulanan sekolah.
Abang tak akan
menangis. Tapi Abang suka berteriak, Mak yang mencontohkannya. Mereka suka
memaki, berkerut dahi, dan tak percaya ada orang baik di dunia ini.
Padahal bagiku
saat ini, Abang adalah orang terbaik yang kupunya. Tapi tidak di hari-hari ke
depan.
“Rupamu mirip
Abah,” ujar Abang tiba-tiba. Ia berjongkok di sampingku, kali lain ketika kami
terkurung hujan di rumah.
“Aku rindu
Abah,” jawabku.
Segera saja
teriakan Mak menyambut, “Apa yang kau harap dari bapak bejatmu itu? Tak ada
tanggung jawabnya untuk keluarga. Di sini aku yang mengganjal perut kalian,
yang menutupi kalian dari telanjang, meski tak sempurna. Mana yang kau panggil Abah
itu, Mahmud?”
Aku dan Abang
tak ada yang menyahut. Kami memandangi hujan dari pintu yang terbuka. Kami sama
tak tahu di mana Abah, dan kenapa ia pergi.
Mak beradu suara
dengan hujan, tapi aku dan Abang sibuk dengan pikiran masing-masing. Sampai
kemudian terdengar olehku, bahwa Mak tegas-tegas lebih mencintai Abang daripada
aku. Karena aku, katanya, tak setegar Abang. Aku gampang menangis, tak punya
akal untuk menyambung hidup. Tak bisa diandalkan, sama persis seperti Abah.
Lalu Abang
menoleh padaku, tiba-tiba pandangan jijik menutupi keseluruhan mukanya. Dan
sejak itu, ia bukan lagi abang terbaikku.
Simak juga >> Cerpen Pemenang Sayembara KBJ
Alunan Yasin
masih bersahutan, bacaan dan isak saling desak. Tiga, tujuh, sampai seribu hari
ke depan, rumah ini akan terus repot dengan serangkaian seremoni. Kau ditinggal
mati, tapi harus pula bersusah payah menghidangkan makanan untuk orang yang datang.
Potongan puzzle di kehidupan lampau datang lagi, saat
kulirik Abang yang kaku di tengah ruang.
Ketika lemari
kubuka, ada dua botol tipis di antara lipatan pakaianku.
Tahu aku, Bang. Hendak kau fitnah adik
sedarahmu ini dengan minuman ahli neraka itu.
Jika Mak lebih
dulu menemukan botol itu, pasti lebam hanya untukku. Meski lebih suka diam, tapi
aku bukan si dungu yang dianiaya tak berdaya.
Maka, kubuka
kedua botol dan menuang separuhnya ke lubang pembuangan—yang terlalu memaksa
disebut kloset. Lalu sisa botol maksiat itu kupenuhi dengan isi kandung kemih
yang sejak tadi memang mendesak ingin dikeluarkan. Kututup rapi, kulap bersih.
Kunikmati seringai mukaku sendiri di cermin.
Dan malamnya,
ada orang-orang sok teler di bawah jendela kamar. Lima pemuda yang membuatku
terpingkal-pingkal, selagi Mak entah beradu gunjing di rumah tetangga yang
mana. Puas sekali malam itu, terbalas kesalku yang terpendam berhari-hari pada
abang yang dulu kucintai. Suatu hari Mak pun harus dibalas. Lalu Abah.
Kata Mak, Abah
tak bermoral. Tinggalkan anak istri tanpa penghidupan, senang sendiri
menambah-nambah rumah di mana berhenti. Abang senang betul mendengar cerita
Mak. Kucoba mengingat-ingat kenanganku dengan Abah. Tidak pernah ada teriakan
mampir di telinga saat seduduk atau berbicara dengannya. Tapi tak banyak yang
kuingat, karena memang Abah hilang, dan tak ada kiriman SPP atau jajannya
sampai kini, bahkan tak juga ketika Abang telah tergeletak dengan luka yang
memutuskan napasnya.
Setelah puas ber-Yasin,
kenalan Mak menghubungi pengurus masjid untuk memanggil orang-orang, agar salat jenazah
beramai-ramai. Aku sendiri tak dipinta Mak melakukan sesuatu, ia dan menantu
asik bersedu-sedan menyesali tugas yang dibebankan atasan Abang, yang selama
ini telanjur dicap sangat baik oleh keduanya.
“Kenapa anak
buah kesayangannya yang ia lempar ke tempat itu!” Mak masih berteriak.
“Sudahlah, Mak.”
Hanya kalimat itu yang keluar, karena aku tak bisa merayu. Lagi pula mana bisa
tangisan mengembalikan nyawa.
“Kau memang
sejak kecil tak menyukainya!” Teriak
Mak lagi.
Sejak kecil,
syaraf kanak-kanakku memang putus sebagian besarnya karena teriakan orang-orang
terdekatku.
“Orang-orang
biadab itu membunuh anakku, padahal ia melakukannya untuk negara!” Mak terus
berteriak.
Mak tak sadar,
di sekitarnya, bahkan orang-orang yang kelihatan menangis itu, tak setuju
dengan ungkapannya.
“Ia menggusur
atas perintah negara. Nanti aku akan ke kantornya, atau ke dewan saja. Akan
kutuntut mereka, kenapa tak mempersenjatai anakku dan kawan-kawannya dengan
pistol. Dengan begitu ia bisa membela diri dari orang-orang yang diusir. Tidak
jadi mayat seperti sekarang!”
Orang-orang
makin tak setuju.
“Jika untuk
negara, kenapa setelah daerah kosong, yang hadir justru perusahaan asing?
Kenapa tak pernah merazia orang-orang sok modern yang suka menebar budaya
amoral di jalanan? Jika tanpa pistol saja sudah begitu beringas, bagaimana pula
hendak dipersenjatai?” Seseorang
bertanya pada rekannya.
Yang ditanya
hanya mengangkat bahu, tapi Mak segera menoleh, “Apa katamu?”
Lalu Mak
berteriak lagi, dan dua orang itu segera pamit dengan wajah pucat pasi.
Aku tersenyum menyilakan. |
Cari di iluvtari
Cerpen Psikologi, Tentang Keluarga dan Trauma Masa Kecil
loading..
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments