Cari di iluvtari
Melek Lingkungan di Forest Talk With Netizens
Beginilah kegiatan rutin setiap hari. Kadang larut
malam, kadang pagi-pagi buta; ngumpulin air PDAM. Kalau tidak dipaksa melek,
bisa-bisa besok gak mandi. Nunggu air ditemani aroma asap karhutla (kebakaran hutan dan lahan) yang masuk
ke rumah. Jangan tanya rasanya. Tapi biarlah, dengan atau tanpa asap, nanti
saatnya mati ya mati. Hitung-hitung menghapus dosa.
Forest Talk With
Netizens
yang diadakan oleh Yayasan Doktor Sjahrir (YDS) bekerja sama dengan The
Climate Reality Project Indonesia, atau lebih sering disebut Climate
Reality Indonesia (CRI) itu, diadakan pada 31 Agustus 2019. Bertema "Menuju Pengelolaan Hutan Lestari",
acara ini dihadiri tidak kurang dari 50 orang warganet yang ada di Kota Jambi.
YDS adalah Organisasi
Nirlaba yang dibentuk untuk meneruskan misi sosial almarhum Dr. Sjahrir. Bergerak
lintas sektor, termasuk bidang pendidikan, kesehatan, dan lingkungan (yayasandoktorsjahrir.id).
Sedangkan CRI lebih kurang mirip dengan YDS tapi dengan cakupan yang lebih
spesifik, yakni pada perubahan iklim. CRI adalah cabang dari The Climate
Reality Project yang didirikan oleh mantan Wakil Presiden AS, Albert Arnold
Gore (climatereality.or.id).
Sebelum di Jambi,
acara yang sama sudah pula dilaksanakan di Jakarta, Palembang, Pontianak, dan
Pekanbaru.
Konyol kalau sampai
Jambi gak masuk daftar lokasi acara, sebab bersama beberapa wilayah di Sumatra
dan Kalimantan, Jambi termasuk yang terkena dampak kerusakan hutan paling parah
di Indonesia.
Konon, sejak tahun
90-an asap karhutla sudah jadi menu tahunan provinsi ini. Aku sih sudah lahir
sejak sebelum tahun itu, tapi gak inget kalau dulu pernah berasap-asap gini.
Yang kuingat, zaman itu ada koin gambar rumah gadang yang bisa buat beli pempek
dua biji.
Tapi kenangan buruk
tahun 2015 rasanya gak mungkin terlupa, ini akan jadi bahan ceritaku untuk
anak-cucu kelak, supaya mereka lebih paham kondisi alam dan bisa mengantisipasi
hal yang sama atau lebih buruk lagi pada zamannya kelak.
Pertengahan Juli
sampai awal Oktober di 2015 itu, orang Jambi bisa kehilangan patung Sultan
Thaha gubernuran dari pandangannya, padahal hanya berdiri di Taman Anggrek.
Penerbangan banyak ditunda, bahkan dibatalkan. Sekolah libur, rumah sakit ramai
oleh penderita ISPA. Semua karena asap pekat yang mengisi paru-paru kami selama
berbulan-bulan.
FTWN dimoderatori oleh Amril Taufik Gobel dengan pemateri Ibu Amanda Katili Naode selaku manajer CRI. Kemudian ada Ibu Atiek Widayati dari Tropenbos Indonesia, dan Ibu Elly Telasari perwakilan APP (Asia Pulp and Paper).
FTWN dimoderatori oleh Amril Taufik Gobel dengan pemateri Ibu Amanda Katili Naode selaku manajer CRI. Kemudian ada Ibu Atiek Widayati dari Tropenbos Indonesia, dan Ibu Elly Telasari perwakilan APP (Asia Pulp and Paper).
Pada sesi materi Memahami
Perubahan Iklim dan Menyikapinya oleh Ibu Amanda, peserta dibuat
terperangah dengan fakta-fakta yang beliau paparkan. Oh ya, sebentar. Tanpa
maksud apa-apa, jujur aku suka dengan style si ibu. Mirip dengan Iriani R.
Tandy dan beberapa orang hebat dengan gaya yang simpel. Kaus Natgeo-nya bagus!
Hehe.
Misalnya foto pertama
ini.
Kalau sebagai orang Jambi terkejut aku
terheran-heran dengan hujan lokasi yang kerap terjadi. Di Amerika dan Australia
dalam waktu yang sama, satu mengalami suhu sangat rendah, satu lagi sangat
tinggi. Kondisi ekstrem yang mirip dengan kita di Indonesia, ketika Jakarta
kebanjiran, Jawa Timur mengalami kekeringan.
Sama sekali bukan
fenomena unik, melainkan fenomena mengerikan. Kalau kita tidak segera berbuat,
bagaimana nasib generasi nanti? Melihat anak-anakku yang sekarang rajin
ngedumel kalau diberi PR oleh gurunya, aku pikir gimana nanti setelah mereka
dewasa. Berhadapan dengan tagihan rumah dan mobil? Apa-apaan ini!
Lebih dari itu, mereka
akan berhadapan dengan perubahan iklim yang lebih parah dari hari ini. Semoga
itu tak keburu terjadi. Kita harus berubah dari sekarang!
Berbagai bencana yang terjadi
akibat ketidakseimbangan alam, nyata adalah hasil dari perbuatan manusia
sendiri.
Emisi, yakni pemancaran cahaya, panas, atau elektron dari
suatu permukaan benda padat atau cair (definisi menurut KBBI) berbagai kegiatan di
atas mengakibatkan kerusakan pada lapisan Bumi. Kita mengenalnya dengan istilah
efek rumah kaca. Ketika isi alam dieksplorasi, gas-gas yang ada di dalamnya
naik. Ditambah dengan aktivitas manusia yang tak terelakkan, hasil lepasan dari
itu semualah yang mengakibatkan perubahan iklim yang menghasilkan cuaca ekstrem.
Setiap ada masalah,
pasti ada solusi. Begitu kata para motivator. Dan begini solusi konkret yang disarankan
CRI lewat Ibu Amanda:
Pertama dengan mitigasi,
yaitu upaya memperlambat proses perubahan iklim global. Artinya sejak awal
sudah dipahami, bahwa perubahan iklim ini tidak mungkin terhindarkan. Jadi yang
bisa dilakukan manusia adalah membuat proses ini jadi lebih selow. Untuk kita-kita
yang receh ini, hal sederhana yang bisa dilakukan adalah menghemat penggunaan
pakaian, kertas, bahan plastik, dan pengelolaan sampah sederhana.
Sisanya kuanggap tugas
pemerintah, karena kewenangan soal perizinan dsb ada di tangan mereka. Mungkin terkait
ini, kita cuma bisa mendoakan agar makhluk satu dunia ini sadar, kita secara berjamaah
sedang menghadapi ancaman besar.
Kedua, dengan adaptasi.
Alam berubah, kita pun berubah. Sederhananya seperti orang naik haji. Sebelum berangkat,
kita pasti mencari tahu dan berusaha menyesuaikan tubuh dengan kondisi di Arab
sana. Kayak sudah naik haji aja! Ya maksudnya bersehat-sehatlah, karena debu
sekarang beda dengan debu zaman emak-emak dulu. Makanan sekarang campurannya
tidak sesehat dulu, dst.
Lagi-lagi itu hanya
contoh remeh yang bisa kita lakukan. Menghasilkan penemuan-penemuan baru yang
dapat melindungi manusia kita serahkan saja pada ahlinya. Dan meningkatkan
ketahanan terhadap perubahan iklim global lebih tepat jadi PR pemerintah. Karena
kalau semua kamu yang mikirin, selamat nggak. Stres iya.
Lanjut sesi kedua!
Tadi sudah dibahas
bagaimana perubahan iklim secara global, sebab dan efeknya. Kalau lupa, kamu
balik lagi ke atas ya! Biar paham kenapa berikutnya Ibu Atiek Widayati lebih
spesifik membahas hutan; Pengelolaan Hutan dan Lanskap yang Berkelanjutan.
Kuncinya ada di gambar
pie, di sana disebutkan bahwa penyebab paling besar dari perubahan iklim adalah
rusaknya hutan. Maka sebagai utusan Tropenbos, inilah lebih kurang yang beliau
sampaikan.
Hutan mengalami deforestasi
(perubahan permanen dari areal berhutan menjadi areal tidak berhutan atau tutupan
lainnya sebagai akibat dari aktivitas manusia), degradasi (perusakan
atau penurunan kualitas hutan dari segi tutupan, biomasa, dan atau aspek
lainnya), dan konversi (perubahan bentuk sesuai fungsi baru yang dimaksudkan).
Akibat dari ketiga hal
tersebut, hutan kehilangan kemampuan dalam menyerap karbon di udara. Apa yang
terjadi selanjutnya? Kita akan balik lagi ke materi pertama, tentang perubahan
iklim dan cuaca esktrem.
Saat mengawali
materinya, Ibu Atiek juga sempat menyinggung adanya konflik hewan dan manusia
akibat rusaknya habitat hewan di hutan. Di hari yang sama, lewat pukul 10 malam,
masuk chat WA dari salah satu kontakku berisi link berita tentang harimau yang
muncul di dekat permukiman warga di Dusun Buat, Kecamatan Bathin III Ulu, Kabupaten Bungo.
Di kota, sejak 2008
sering terlihat Suku Anak Dalam yang mengemis di jalanan. Alhamdulillah sekarang
hanya sesekali terlihat. Sayang aku sering lupa memotret kejadian di jalanan
karena malas pegang HP kalau sedang bawa motor. No pic hoax? Kan ada Google
yang bisa mengkonfirmasi. Kukutip dari jambi-independent.co.id (6/3/19), salah
satu dari 33 orang Suku Anak Dalam yang dikembalikan Dinsos Kota Jambi mengaku sulit
mencari makan karena maraknya pembukaan hutan.
Tuh, luar biasa kan
efek rusaknya hutan? Jangankan hewan, manusia yang dikaruniai akal pun seperti
kehabisan akal akibat perbuatan manusia lainnya.
Tropenbos atau Yayasan
Tropenbos Indonesia yang diwakili Ibu Atiek memiliki visi menjembatani kesenjangan antara pengetahuan dan
praktik tentang tata kelola lanskap hutan yang lebih baik (tropenbos-indonesia.org).
Btw, beberapa link sumber di artikel ini menggunakan bahasa Inggris loh! Untung
aku ngerti English dikit-dikit, jadi tahu … tahu cara menggugeltransletkan.
Untuk mengembalikan fungsi hutan, ada beberapa
hal yang bisa dilakukan. Di antaranya penghijauan, restorasi, penanaman pohon, agroforestri
(kombinasi pepohonan dengan tanaman pertanian), dll.
Kalau itu terdengar terlalu berat, kita masih
bisa kok buat yang mudah. Misalnya tidak ikut-ikutan membakar lahan, tidak asal
menebang pohon, membeli hasil hutan atau kerajinan yang tidak merusak hutan
(dengan begini kita menghargai upaya masyarakat sekitar hutan, sehingga mereka
tidak mengambil yang seharusnya tidak diambil dari hutan tsb). Dan sebagai
pengguna internet, ayo dong, posting yang faedah tentang hutan. Jangan curhat
gaje melulu!
Setelah sesi kedua
ini, seharusnya materi ketiga diisi oleh Ibu Murni Titi Resdiana dari Kantor
Urusan Khusus Presiden bidang Pengendalian Perubahan Iklim. Tapi karena ada
sesuatu hal, yang aku gak dengar apa, akhirnya presentasi beliau dibacakan oleh
Ibu Amanda.
Melihat dari materi
Ibu Titi, lebih tepat kalau kita langsung lompat ke pameran mini. Sebab
apa yang ada pada materi Pohon dan Ekonomi Kreatif, telah dipraktikkan langsung
oleh para exhibitor hebat ini.
Adalah Kain Vinto yang
membuat seantero ruang kagum dengan produk ekspornya. Gak akan cukup blog ini
untuk menceritakan proses menuju sukses yang dilalui Bang Vinto, sang owner. Bukan
cukup ruang atau cukup waktu untuk membaca. Tapi gak cukup tenagaku ngetiknya!
Produk di atas ada
yang dibuat dari alang-alang, pandan rawa, dll hasil alam tanpa merusak ekosistem.
Hebatnya lagi, proses pewarnaannya tidak menggunakan bahan kimia. Mengkudu,
lumut, bahkan getah pisang bisa disulap menjadi pewarna alami kain dan produk
Bang Vinto lainnya.
Pameran Kain Vinto
aslinya memang sekadar ajang pamer, sebab kita. Ralat, aku. Gak bakal "tega" membeli produknya. Tas pandan itu dibanderol 800 ribu rupiah, seharga 3 pasang
seragam sekolah anak. Apalagi syal yang terbuat dari alang-alang yang dimix
dengan sutra. Aku gak berani nanya!
Bang Vinto sedang uji coba (instagram.com/kain_vinto) |
Produk Kain Vinto juga
tidak menyasar pembeli lokal. Barangnya dikirim ke Jepang, Filipina,
Malaysia, Turki, dan beberapa negara lain. Jangan asal kagum, melihat
perjuangan Bang Vinto, kamu juga bisa ciut. Beliau meneliti dan mempelajari
semua bahan tadi hingga ke Thailand dan Jepang. Kuliahnya juga di Inggris. Aduh,
Bang. Jauh kali kau merantau!
Selanjutnya ada
Rengkerengke, kreasi anyaman khas Jambi.
instagram.com/rengkerengke & WAG |
Bros, topi, dan (kebanyakan) plakat di atas terbuat dari rotan, keladi hutan, dll yang dianyam oleh Suku Anak Dalam (SAD). Ada baiknya Mas Ali Rengke (panggilan ownernya begitu) bekerja sama dengan Dinas Sosial yang capek bolak-balik mulangin SAD ke daerah, supaya diberdayakan saja. Apalagi beliau juga mengeluhkan sedikitnya tenaga penganyam. Dari 14 orang tersisa 2 orang saja, itu pun sudah sepuh.
Rengkerengke pernah
ditawari ekspor dengan jumlah besar, tapi karena ketidakmampuan mengerjakan,
akhirnya tawaran itu dilepas. Sayang banget sebenarnya. Tapi memang terlalu
riskan jika diambil. Selain karena tenaga pengayamnya sedikit, orang-orang dari
SAD juga tidak mau (atau mungkin belum paham) dengan sistem penjualan
konsinyasi. Mereka maunya jual putus, dan bagaimana pun hasil anyamannya, Mas
Ali tetap akan membeli.
Gak kebayang deh, mau
untung kudu nombok dulu!
Kita ke stand
berikutnya. Dulu, mendengar kata “jamur”, yang muncul di benak adalah
gatal-gatal. Sekarang, kriuk-kriuk!
Langsung ketebak kan? Yup,
jamur krispi! Menurutku, camilan satu ini mirip dengan franchise yang hilang
timbul di pinggir-pinggir jalan. Bedanya, Jamur Ragel (akronim dari rasa
gemilang) hadir justru untuk menolong mereka yang muncul dan tenggelam itu.
Alkisah, para petani
jamur di Maro Sebo, Muaro Jambi, mengalami kerugian karena tak banyak yang bisa
dibuat dari jamur hasil panen mereka. Maka muncullah dua pahlawan cantik sebagai
penyelamat. Dengan kemampuan mereka mengolah dan mengemas jamur tiram, jadilah Ragel
kudapan yang renyah di mulut dan ringan di kantong. Inilah satu-satunya bahan
pameran yang bisa kubeli. Hiks!
instagram.com/ragel.id |
Karena ekshibisi satu
lagi, yaitu hasil produksi masyarakat Desa Makmur Peduli Api (DMPA) keburu hilang
saat acara usai. Padahal aku mengincar keripik tempenya.
Nah, terkait DMPA ini,
pada sesi materi akhir ada Ibu Elly Telasari utusan APP, yang untuk wilayah
Jambi diwakili PT Wira Karya
Sakti (WKS).
Proyek DMPA adalah bagian dari kompensasi APP terhadap masyarakat di sekitar perusahaan,
yang mana masyarakat tersebut dibina untuk dapat meningkatkan pendapatan
mereka.
Kenapa uraian APP
kuletakkan di belakang? Karena materi yang dipaparkan lebih pada semacam
klarifikasi. Ini pendapatku pribadi loh ya. Seolah ungkapan, “Bukan kami yang
bakar hutan ya!”
“Ini loh yang sudah
kami buat!”
Apalagi sampai saat
ini Tanjung Jabung (lokasi yang sama dengan PT WKS) masih dipenuhi asap. Di
bawah ini foto kiriman keponakanku yang berdomisili di sana.
Terakhir, ada koleksi penyelenggara yang ikut dipamerkan di acara ini. Berupa kain tradisional dari berbagai daerah, terutama yang sudah dijadikan lokasi event FTWN, yang dibuat dari bahan alam tanpa merusak hutan.
Terakhir, ada koleksi penyelenggara yang ikut dipamerkan di acara ini. Berupa kain tradisional dari berbagai daerah, terutama yang sudah dijadikan lokasi event FTWN, yang dibuat dari bahan alam tanpa merusak hutan.
Jadi kalau diurutkan
dari awal hingga ujung materi, lebih kurang begini; Saat ini terjadi perubahan
iklim yang menghasilkan cuaca ekstrem dan ketidakseimbangan alam (materi 1). Semua
itu terjadi paling banyak disebabkan karena rusaknya hutan (materi 2). Seharusnya
kita bisa memanfaatkan hutan dengan lebih arif (materi 3). Salah satu contoh
pemanfaatan hutan yang bertanggung jawab (materi 4).
Yang masih mengganjal
pikiranku adalah, menjelang makan siang peserta disuguhi demo masak yang
inspiratif, tapi sulit dipraktikkan. Bukan soal bahan, aku emang gak suka
masak. Kalau gak suka jadinya ya gak bisa. Gapapa, yang penting kan bisa makan.
Mengganjal pikiran
karena sampai detik ini aku gak tahu apa rasa masakan chef itu. Sebab setelah
dimasak, hasilnya cuma difoto. Atau mungkin akunya yang keburu kabur sebelum
sesi icip-icip itu terjadi? Entahlah. Yang penting ilmu dan pengalaman yang kudapat sudah
lebih dari cukup kok.
Dan akhirnya, acara
yang dimulai sekira pukul 9 itu diakhiri dengan pengumuman pemenang live Instagram
dan Twitter setelah lepas Zuhur. Banyak ilmu yang didapat, banyak kesan yang
tertinggal.
Kalau kamu penasaran
dengan acara ini, akan diadakan di mana lagi? Atau ingin tahu lebih banyak
tentang exhibitor yang hadir, kamu bisa mampir ke lestarihutan.id, di sana akan
kamu temukan info yang bermanfaat untuk diketahui.
sibuk moto-moto orang, kasian gak ada yang moto mereka! |
Terima kasih untuk para penyelenggara, terutama yang namanya belum disebutkan di atas. Tidak akan mengurangi kebaikan teman-teman semua yang telah menularkan pemahaman dan semangat memperbaiki alam, hutan, dan lebih utama lagi, tingkah laku kita dalam menghargai ciptaan Yang Maha Kuasa. Semoga output yang didapat sesuai dengan yang diharapkan.
Kapan-kapan main ke Jambi lagi ya! Undang aku lagi, haha!
Capek banget kan bacanya? Panjang gila. Nih, artikel lain tentang lingkungan. Biar maki capek!
loading..
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
kalo diundang lagi, ajakin aku doonk... trus, aku membacanya kok kayak buru-buru gitu.. seperti kebiasaanmu yang suka ngomong buru-buru.. hahhahaa...
ReplyDeletebtw, tulisannya keren, seperti biasa.. :*
kemarin diajak kawan jugo mak, dah gitu dak langsung dihubungi. sempat ngiro dak lolos seleksi (entah apo yg diseleksi)
DeleteBemarkah ino tmda akhir zaman?
ReplyDeleteopo to iki?
DeleteBang Vinto itu mirip sama Pak Wisnutama yang punya NetTV, ya? Kacamatanya itu, lho yang gak nguatin
ReplyDeleteyg jelas sama2 orang hebat
Deletesaya pernah merenung mbak tentang bumi ini, kasian bumi. Keserakahan manusia membawa ketidakseimbangan.
ReplyDeleteSaya pernah berpikir "liar", pengen setengah dari populasi manusia ini musnah, entah karena bencana, penyakit, ataupun perang ke 3. Saya yang termasuk musnah pun ga masalah, selama bumi ini bisa 'menyembuhkan' diri.
Ga kebayang gimana nanti masa depan, kalau manusia fokus cuma nyari uang terus, sampai akhirnya sadar uang ga akan bisa bikin hidup.
Manusia bukannya merawat alam, malah jadi musuh yang nyata bagi alam. Sejauh ini tindakan yang saya lakukan adalah mengurangi sampah plastik aja mbak
tenang ... ada Allah. yg paling ngeselin itu kalo ada org lempar sampah dari dalam mobil. biarpun sampahnya organik, tapi adabnya itu loh
DeleteLengkap pembahasannya aku serasa ikut eventnya juga, itu produk Bang Vinto salut aku, semoga event gini diadakan juga di Medan huhu
ReplyDeleteMention aja ke twitter penyelenggaranya mbak, kali aja ngefek
DeleteDi Tebo jugo aek PDAM kotor nian dan sering mati, jadi kami disini ngandalin sumur, Kak. Eh samolah, kami jugo dak nyicipin masakan chef tu soalnyo keburu lapar jadi milih makan bae dulu hahah.
ReplyDelete