Di Jambi ada toko buku bekas yang
sudah berdiri sejak aku kecil. Kalau ditanya toko buku murah, hampir pasti
orang akan merekomendasikan toko ini. Bukan karena lengkap, tapi mungkin dia
satu satunya yang masih bertahan. Bahkan sejak kita belum mengenal e-book/bukel (buku elektronik).
Ngomong-ngomong soal e-book yang umumnya berformat PDF, jangan asal unduh ya! Ada bahayanya. Kamu lihat di artikelku yang ini.
Berburu Buku Murah
Dulu kalau kakak keempat tidak
mengajak ke perpustakaan, kakak pertamaku mengajak ke toko buku ini. Beli
bundel Bobo, Donal, Ananda, dll. Jadi setelah punya anak, kubawa mereka ke
tempat yang sama supaya lebih hemat. Kejadiannya sekira satu tahun lalu.
Bahkan sama seperti waktu kecil dulu,
aku lebih tertarik ke majalah anak-anak. Karena umumnya buku bekas yang dijual
di sana adalah buku pelajaran dan majalah. Namanya bekas, tentu beritanya sudah
tidak aktual lagi. Sedangkan majalah anak-anak berisi informasi unik dan cerita
anak-anak yang tak kenal kedaluwarsa. Ada tumpukan novel populer Indonesia yang
kulewatkan saja. Kupikir itu hanya buku lama yang dikemas ulang. Karena kurang
tertarik dengan novel genre itu, jadi kuabaikan.
Anak-anak punya minat yang
berbeda, mereka lebih memilih komik dan dongeng. Hanya dengan 100 ribu rupiah,
kami bisa bawa pulang banyak buku dan majalah.
Tiba di rumah, aku baru sadar,
ada yang aneh dengan buku dongeng yang dipilih si Kakak. Komiknya sama seperti
majalah pilihanku, adalah barang bekas yang sudah tidak gres lagi tampilannya,
kadang bahkan ada nama atau coretan abstrak pemilik lamanya.
Sedangkan buku dongeng yang
keluar dari plastik belanja, tampilannya lebih rapi, tanpa coretan. Tapi …
hasil cetakannya kabur, beberapa halaman tintanya justru lebih tebal.
Perasaanku mulai tak enak. Jangan-jangan ….
Novel Murah(an)
Beberapa hari kemudian, aku
“main” ke toko buku itu lagi untuk membuktikan firasatku. Baru kusadari ada banyak
novel yang tersusun di area yang memang jarang kusambangi setiap ke sana. Dekat
majalah otomotif dan tanam-menanam.
Novel-novel best seller terbaru
berjajar, judul yang sama ditumpuk jadi satu. Ada karya Kang Abik, Boy Candra,
Andrea Hirata, dll. Semuanya masih diplastik rapi.
Kutanya om pemilik toko, “Yang
ini berapa?” sambil mengangkat salah satu novel.
“Dua puluh ribu,” jawabnya.
“Bajakan, ya?” tanyaku sok polos.
Si Om refleks menjawab, “Iyolah,
mano mungkin buku asli dijual semurah itu!” Dia marah.
Cuma ditanya begitu dia langsung
tersinggung, apa perasaan penulis yang buku bajakannya dia jual?
Tapi hanya akan buang-buang umur
kalau aku mendebatnya.
Pembajak Ada di Mana-Mana
Jadi ingat, belasan tahun lalu
aku pernah kerja jadi desainer grafis. Tapi proyek yang masuk rata-rata
pemalsuan. Aku sudah rencana resign, tapi keburu dipecat, haha. Karena terlalu
sering menolak proyek, bosnya sebal. Dari edit tahun STNK sampai bajak buku
mata kuliah, siapa yang kuat?
“Yang mesan bae dekan!” kata bosku waktu itu, yang ASN tapi cuma ngantor untuk
tanda tangan pagi dan sore.
Mau presiden pun, kalau membajak
ya tetap saja mencuri. Jika mati itu cuma akhir dari segalanya, aku pun mau
membajak, gak usah susah-susah nulis. Dan profesi penulis pun lama kelamaan
dijamin punah.
Orang hanya mengukur sesuatu dari
tampilan fisik, tanpa peduli mahalnya sebuah ide. Buku bajakan secara fisik memang pantas dihargai murah. Hasil cetaknya asal-asalan, jilidan mudah lepas, dll. Tapi bagi para pembajak (termasuk pembelinya), ide bahkan tidak
ada harganya!
Mungkin untuk sedikit mencerahkan
para pencuri ini, para penerbit indie maupun mayor bisa
menerbitkan buku untuk berbagai kalangan tentang buruknya tabiat pembajak buku.
Efek jangka panjang, baik bagi pelaku maupun masyarakat, dst. Siapa tahu mereka
dapat hidayah dan berhenti membajak/membeli buku bajakan.
Atau jangan-jangan, malah buku
itu mereka bajak!
So bad ya, Mbak. Buku saja dibajak.
ReplyDeleteIni orang-orang yang membajak keterlaluan dan yang sengaja membeli juga kadang yang bikin adanya barang bajakan.
mentalnya rusak semua
Delete