OWARI
Cerpen Syarifah Lestari
pixabay |
Aku tenggelam dalam pelukan Bang Sani. Kubenamkan kepalaku
pada dadanya, berharap kehangatan ini akan kurasakan kembali suatu saat nanti.
Bang Sani membelai kepalaku. “Jago Mamak[1],”
pesannya.
Aku mengangguk.
Entah kenapa ia yang akan bergabung dengan PETA di Jawa
mengaku pergi berjuang. Padahal setahuku PETA––seperti juga Giyugun di Jambi––adalah tentara
bentukan Jepang. Berjuang untuk siapa? Bukankah Bapak kami tewas di tiang
gantungan depan rumah karena beliau tidak mau menurunkan bendera merah putih
dari tiang itu, sebagaimana yang diperintahkan Taico[2]? Bang
Sani pun pernah diarak dalam keadaan telanjang oleh Keitsatsuco[3]
karena ‘mencuri’ di kebun kami sendiri yang telah mereka rebut dengan alasan
untuk kepentingan negara. Negara yang mana?
Tapi aku tak banyak bertanya pada Bang Sani perihal
kepergiannya, karena aku percaya ia pemuda yang jujur dan cerdas. Tak mungkin
ia membohongiku, dan tak mungkin pula ia mau membela Jepang sementara keluarganya
melarat karena orang-orang bermata sipit itu.
Bang Sani berangkat bersama Pakwo[4] yang baru saja ditinggal wafat
istrinya. Mamak tak kuasa melepas
kepergian anak sulungnya itu hingga memilih tetap di rumah.
Di kejauhan, kulihat Owari mengintip Bang Sani dari balik
semak-semak. Dulu kami adalah teman yang akrab, ia sangat baik dan kerap
mengajari aku dan Bang Sani bahasa Jepang secara lisan. Tapi sejak Jepang
membuka topengnya, tahulah kami apa maksud kedatangan mereka ke sini. Sebelum
aku dan Bang Sani menjauhinya, Owari lebih dulu menjaga jarak. Lalu, sejak
Bapakku dieksekusi, ia menghilang.
Owari datang ke Jambi sebagai anak seorang pedagang,
ayahnya ramah, dagangannya murah, membuat orang-orang simpati. Paman Owari
bekerja sebagai tukang potret keliling. Seringkali aku dan Bang Sani difoto
gratis. Tapi kemudian, setelah Belanda angkat kaki dan Jepang menggantikan,
baru kami sadar, kami semua tertipu.
Ayah Owari ternyata bukan pedagang biasa, ia adalah tentara
Jepang yang ditugasi membangun kesan baik orang-orang Jepang di mata bangsa
Indonesia pada masa pendudukan Belanda, salah satunya dengan dagangannya yang
murah. Paman Owari, dengan foto-fotonya berhasil memetakan Jambi hingga ke
pelosok-pelosok. Siapa sangka, mereka yang dulunya ramah itu kini tak punya
hati? Aku pernah melihat ayah Owari memukul seorang pribumi sambil
membentak-bentak, “Bagero nah![5]”.
Lain waktu, aku dan Bang Sani membantu Nyai[6]
Supik yang luka-luka karena ditabrak Paman Owari dengan sepeda motor, bukannya
menolong, orang putih pendek itu malah memaki Nyai Supik.
Aku ingin meminta penjelasan Owari, kenapa mereka sejahat
itu pada kami, tak ada harganyakah kebahagiaan kami ketika Jepang menang atas
Sekutu? Tapi Owari tak pernah muncul, entah dia takut, tak enak, atau tak sudi.
Kurasa yang terakhir ini bukan, ia sering kedapatan mengintip aku dan Bang
Sani. Hanya mengintip, tak pernah menampakkan diri.
● ● ●
Mamak pulang dari sungai dengan tangan kosong, beliau tampak lesu. Bisa
kutebak apa yang terjadi, gadung kami dicuri orang. Di zaman kelaparan seperti
ini, orang tak kenal apa itu dosa, yang penting kenyang. Kasihan Mamak, susah payah beliau mengolah
gadung itu, dari mengupas, mengiris, merendam dengan ambung[7] di
air mengalir, setiap pagi beliau aduk agar zat racunnya hilang. Kini, pada hari
kelima yang mana gadung siap dimasak, makanan itu malah hilang.
Untunglah Pakdo[8] dan kawan-kawannya kemarin berhasil
menipu tentara Jepang. Mereka membawa keranda ke pemakaman untuk dikuburkan.
Orang Jepang punya satu kesamaan dengan orang Indonesia, suka tahayul. Begitu
iring-iringan jenazah lewat, tentara Jepang yang berada di pos penjagaan segera
menunduk sebagai sikap hormat kepada jenazah sampai iring-iringan tadi telah
jauh dari tempat mereka berdiri. Penjajah itu lebih menghargai orang mati
daripada yang hidup.
Malamnya, diam-diam kuburan yang baru digali dibongkar
kembali oleh Pakdo dan kawan-kawannya
yang lain lagi. Mereka bukan hendak mencuri mayat, tapi mengambil bahan makanan
yang mereka beli siang hari. Barang-barang itu dibungkus tikar usang––karena
kafan sukar didapat––menyerupai jenazah, lalu diperlakukan layaknya orang yang
telah meninggal dunia. Begitulah, orang-orang harus menyerempet bahaya karena
bertransaksi sepengetahuan Jepang cukup sulit, bahan-bahan makanan tersebut dibatasi
jumlahnya, sedangkan harga tak pula murah sebagai imbas mahalnya biaya perang
Jepang melawan Sekutu.
Mamak termenung, mungkin memikirkan keadaan Bang Sani, atau teringat kejadian
yang menimpa Bapak. Keduanya sama menyedihkan. Aku tak tahu harus berbuat apa.
Bang Sani dan Pakdo selalu
mengingatkanku agar lebih betah di rumah karena keadaan di luar tidak aman
untuk anak perempuan berumur 17 tahun sepertiku. Orang-orang Jepang kebal
hukum, apa pun perbuatan mereka tidak akan mengakibatkannya terkurung di
penjara. Bahkan sebaliknya, korban tabrakan, perkosaan, penganiyaan, atau apa
pun itu yang mengadu, malah mendapat hukuman dengan tuduhan memfitnah dan
sebagainya.
“Yuk...[9]”
Bang Nurdin, teman Pakdo, tergopoh-gopoh menaiki tangga rumah
panggung kami.
Mamak seketika menoleh.
“Ayuk tenang, yo, ini ado duit samo beras dari Zen,
dio dibawak yungsa[10] ke Palembang.”
Kulihat mata Mamak
memerah, seorang lagi keluarga kami dibunuh Jepang. Pakdo memang masih hidup saat ini, tapi ia akan dijadikan romusha untuk menimbun sungai Tengkuruk
di Palembang. Selama ini, romusha
yang dibawa yungsa ke Palembang,
Padang, Medan, atau daerah di luar Jambi lainnya hanya sedikit yang berhasil
pulang. Dari yang sedikit itu pun, sudah tak bisa dikenali lagi oleh sanak
famili karena fisiknya sudah tidak menyerupai manusia. Kurus, lusuh, bahkan ada
yang gila!
Sepamit Bang Nurdin, aku dan Mamak berisakkan. Habis sudah laki-laki di rumah ini.
“Biaklah[11], asal jangan Allah be[12] yang
ninggalin kito,” di sela tangisnya Mamak
menghiburku.
Owari muncul dari balik semak samping rumahku, wajahnya
berempati, tapi aku tak percaya. Orang-orang Jepang seperti pemain sandiwara
yang pandai berubah-ubah perangai. Dengan geram kulempar sebuah tempurung
kering ke arah Owari. Gadis itu terkejut, lalu pergi.
● ● ●
Tiga tahun sudah Bang Sani, Pakwo, dan Pakdo
meninggalkan aku dan Mamak. Sampai
usiaku berkepala dua ini, tak juga ada kabar dari ketiganya. Rindu sudah
terkikis, harapan pun nyaris habis. Rasanya tiga orang terdekat itu sudah
tinggal kenangan saja. Mamak makin
hari makin kurus, tapi beliau terlihat tetap bersemangat menyongsong subuh,
seperti ketika keluarga ini masih lengkap. Mamak
sedang berupaya melupakan masa silam yang suram itu, aku pun demikian. Dan
sekarang ini, aku harus lebih berani meninggalkan rumah untuk beradu cepat
dengan babi dalam mendapatkan gadung, mencari damar untuk dibuat menjadi tunam[13],
dan berupaya mendapatkan harga tinggi dari barang-barang isi rumah yang kujual
demi menyambung hidup.
Setelah tiga tahun ini, Owari makin berani mendekatiku
walau tanpa bicara. Mamak selalu
menegur jika aku bermaksud mengasarinya. Di antara kepedihannya, Mamak masih menyimpan kasih sayang pada
sesama, sekalipun pada gadis bangsa penjajah itu.
“Desi....”
Aku seperti mengenal suara itu.
“Ojama desu ka[14]?”
Benar saja, telah lebih tiga tahun aku tak mengobrol lagi
dengan pemilik suara ini. Owari.
“Berani kau ketemu
aku?” langsung kuperlihatkan wajah tak suka demi melihat kehadirannya.
“Isoide imasu[15],”
ujarnya memelas.
“Apo?” aku
menjawab ketus.
“Saya butuh bantuan kalian.” Owari tertunduk.
Aku menyeringai, “Dari dulu kalian tu memang la butuh kami, nak dijadikan sapi perah, mesin perang...”
“Cukup. Bukan itu yang saya maksud,” Owari memotong
ucapanku.
“Owari!”
Gadis sebayaku itu terkesiap. Segera ia berlari
meninggalkan rumahku. “Besok saya kemari lagi,” pamitnya.
Ayah Owari terlihat berkacak pinggang di sebelah rumpun
bambu pinggir jalan. Sesampainya Owari di sana, tangan laki-laki itu segera
saja melayang ke kepalanya. Aku takjub, pantas saja penjahat itu begitu buas
terhadap kami, dengan anaknya sendiri saja ia kejam. Ah, peduli apa aku dengan
keluarga itu.
“Besok kau jangan
kasar lagi samo dio, mungkin memang ado yang penting nak disampaikannyo.” Ternyata Mamak
sedari tadi memperhatikanku dari dalam.
“Dak usahlah kito
percayo orang tu. Nak mati pun, matilah sano!”
“Desi, dak pernah Bapak dan Mamak kau ni ngajarin kasar kayak
gitu!”
Aku terdiam. Memang, keluarga ini terlalu lembut, bangsa
ini terlalu lembut. Pun kepada para penjajah.
● ● ●
Pagi ini, Mamak terlihat
cerah karena semalam kami kedatangan seseorang. Tadinya aku tak mengenali orang
itu, tapi setelah kuperhatikan baik-baik barulah ingatanku kembali. Yang datang
malam itu Pakdo, adik Mamak yang sudah tiga tahun jadi romusha di Palembang. Aku sujud syukur, Pakdo masih hidup meski tinggal tulang berbalut kulit. Ia juga masih sehat
ingatannya, tidak gila seperti dugaanku.
Hingga memasuki waktu dhuha, Pakdo masih tak banyak bersuara. Ia kelelahan setelah berjalan kaki
berhari-hari dari Bayung Lencir ke Olak Kemang menyusuri hutan dan Sungai Batanghari.
“Desi.” Suara itu lagi. Kulihat Owari berjongkok di bawah
panggung rumahku.
“Ado apo?” kali
ini aku bertanya baik-baik, mematuhi pesan Mamak
kemarin.
Setelah kami berdua naik ke teras rumah, Owari menyerahkan
selembar kertas padaku. Langsung saja kertas itu kukembalikan, “Aku dak biso baco.”
“Ini nama-nama pemuda PETA yang...” Owari menghentikan
ucapannya.
“Yang apo?”
“Yang...” ia tampak ragu. “Yang dihukum mati karena
memberontak.”
Aku lunglai tapi pasrah, sejak kepergiannya pun aku sudah
punya firasat bahwa Bang Sani takkan kembali lagi. Berarti itulah yang dimaksud
abangku dengan pergi berjuang, ternyata ia dan teman-temannya telah
merencanakan pemberontakan sejak lama.
Tak kuduga, mata Owari berkaca-kaca, lalu bening-bening itu
bergulir dari sudut kedua matanya.
“Ngapo kau yang nangis?”
“Dari dulu saya berharap, Sani bisa menyelamatkan saya.”
Dahiku berkerut tak mengerti.
“Saya ingin keluar dari rumah itu.”
“Rumah kau?”
Owari mengangguk.
“Owari, ehotto kide
kudasai[16]!”
paman Owari tiba-tiba sudah berdiri di dekat anak tangga rumah.
“Gomen nasai[17],”
Owari membungkuk di depan pamannya, lalu berpamitan padaku.
Aku masuk ke dalam rumah. Kertas dari Owari tadi dibawanya
kembali. Lebih baik kabar itu kubiarkan saja menguap bersama zaman, tak tega
kuhempas kebahagiaan Mamak hari
ini.
Saat melintasi jendela, tak sengaja kutoleh jalan setapak
yang dilewati Owari dan pamannya. Kulihat ia dihajar lagi oleh keluarganya itu.
Di dalam rumah, Mamak
dengan sabar mengurusi adiknya, menyuapkan makanan untuk mengisi badan kurus
itu, dan sesekali melap air dan makanan tak terkunyah di sekitar mulut Pakdo yang giginya sudah tak utuh dengan
bibir yang pecah-pecah, membuatnya sulit mencerna makanan.
Sekali lagi kutoleh jendela, akhirnya tumbuh juga rasa
kasihanku pada Owari. Adakah dia juga kasihan pada nasib keluargaku? Lebih dari
itu, nasib bangsaku?
● ● ●
“Assalamu’alaikum,”
ada yang berbisik dari bawah kolong rumahku.
Mamak yang baru saja selesai salat malam mendekati asal suara, “Wa’alaikum salam,” jawab beliau dengan
berbisik pula.
Entah apa yang diucapkan orang itu, Mamak kemudian membuka sedikit pintu belakang dengan perlahan agar
tak mengeluarkan suara. Dua kantong besar berisi beras, garam, dan gula
berpindah ke dapurku. Sehelai kertas terselip di sana.
Pintu kembali ditutup, sosok yang mengantarkan makanan
pergi begitu saja menembus kepekatan malam.
“Siapo, Mak?”
tanyaku. Mamak mengangkat kedua
bahunya.
Kuambil kertas di atas beras. Mamak hanya melihat, tak
berkeinginan mencari tahu apa isinya. Kami berdua memang sama-sama buta huruf, tunggu pagi
saja, mudah-mudahan besok Pakdo sudah
pulih benar. Hanya dia dan almarhum Bang Sani yang bisa membaca.
● ● ●
Dari Owari Hisamura.
Assalamu’alaikum warahmatullahi
wabarakatuh.
Jawablah salam saya
karena saya adalah seorang muslimah. Seperti yang pernah saya bilang, saya
berharap Sani yang dulu mengenalkan Islam pada saya suatu saat bisa membantu
saya keluar dari tempat ini. Kertas yang kemarin saya bawa berisikan nama-nama
orang yang dihukum mati. Nama Pakwo Desi tertulis di sana––saya turut menyesal.
Tapi Sani tidak, ia selamat!
Saya akan pergi
menyusul Sani di Jawa, sekalian mengabarkan keadaan kalian padanya. Suatu saat
nanti, insya Allah ia akan kembali ke Jambi. Untuk sekarang tentu saja sulit,
karena Sani berstatus buron.
Tahukah kamu, Desi.
Dua laki-laki yang dulu saya akui sebagai ayah dan paman saya adalah bohong
belaka. Mereka bukan keluarga saya, saya hanya dipakai untuk memperalat
penduduk. Itulah sebab mengapa saya sangat ingin keluar dari rumah itu. Empat
tahun lamanya saya harus menyembunyikan keislaman saya, bertahan satu rumah
dengan dua laki-laki yang bukan mahram, membendung keinginan saya untuk
mengenakan kerudung, tak berpuasa selama dua kali Ramadhan.... Sungguh, itu
semua menyiksa saya.
Jepang takkan lama
bertahan, Sekutu terlalu berat bagi gabungan negara-negara kecil di pihak
Jepang. Jika saya masih hidup di saat kalian merdeka, saya berjanji akan
kembali menemui kalian. Karena bagaimana pun,
saya tidak menyukai perlakuan Jepang terhadap Indonesia, dan kecintaan saya
pada Islam jauh lebih besar daripada cinta saya pada Jepang. Sebab, ikatan
persaudaraan dari persamaan keyakinan lebih kuat dibanding persamaan suku,
bangsa, atau apa pun.
Sampai bertemu di
hari yang lain.
Wassalamu’alaikum
warahmatullahi wabarakatuh.
Pakdo melipat kembali surat yang baru bisa dibacakannya setelah tersimpan
selama sepekan. Mamak menyeka airmata haru, sedang aku kebingungan
bagaimana harus bereaksi. Bahagia, khawatir, sedih, gembira... semuanya
bercampur aduk!
● ● ●
Kubuka kembali kertas kusam di tanganku. Bertahun-tahun
surat dari Owari itu kusimpan. Jepang terpaksa pulang kampung karena Hiroshima
dan Nagasaki luluh lantak dijatuhi bom atom oleh Amerika, sebagai balasan atas
hancurnya Pearl Harbour. Sukarno-Hatta segera memproklamasikan kemerdekaan
negara yang sedang vakum ini, kemerdekaan yang tanpa sengaja.
Berbulan-bulan kusaksikan matahari naik turun membentuk
bayangan nisan Mamak, tapi Bang Sani
dan Owari tak kunjung datang, padahal Pakdo
tak jemu-jemu mengirimi mereka surat. Bisa jadi, ia hanya pura-pura mengirimkan
surat itu untuk menghibur hatiku, dari mana ia tahu alamat mereka? Dan, aku
yang buta huruf ini tak mengerti apa yang tertulis di amplop surat itu. Entah
alamat, entah nama, atau... sudahlah! Kesendirian adalah bagian tak terpisahkan
dari hidupku. Toh aku dilahirkan sendiri, dan akan ‘pergi’ sendiri pula.
Cerpen ini adalah satu dari 11 cerpen yang ada di Kumpulan Epik Bidadari dari Bajau. Versi cetaknya sudah terjual habis, tapi ebooknya bisa kamu beli di Play Store (bagian buku/books) atau unduh gratis sebagian isinya di Play Buku.
selain cerpen berlatar Jambi pada masa penjajahan Jepang, juga ada cerpen Jambi berlatar penjajahan Belanda, cerpen dengan tokoh Belanda, dll. Tapi semuanya adalah cerpen bertema Jambi.
Eh, mampir juga ke Cerpen Bertema Milenial, gak kalah seru!
selain cerpen berlatar Jambi pada masa penjajahan Jepang, juga ada cerpen Jambi berlatar penjajahan Belanda, cerpen dengan tokoh Belanda, dll. Tapi semuanya adalah cerpen bertema Jambi.
Eh, mampir juga ke Cerpen Bertema Milenial, gak kalah seru!
[1] ibu
[2] komandan batalion Jepang
[3] perwira polisi Jepang di kewedanan
[4] kakak laki-laki ibu/ayah
[5] kamu kurang ajar/binatang!
[6] nenek
[7] keranjang
[8] adik laki-laki ibu/ayah
[9] ayuk/yuk=panggilan untuk
perempuan yang lebih tua
[10] anggota polisi
[11] biarlah
[12] saja
[13] penerang rumah dari damar dan bambu
[14] apakah saya mengganggu?
[15] ini penting
[16] kemari
[17] maafkan
Cerpennya bagus sekali. Sudah lama aku tidak membaca cerpen berlatar belakang zaman penjajahan seperti ini. Miris rasanya melihat kehidupan Desi dan bagaimana keadaan seluaruh bangsa Indonesia pada saat itu. Semoga Indonesia selalu merdeka.
ReplyDeleteCerpennya bagus kak, apalagi sudah dibukukan dan sampe terjual habis.
ReplyDeleteAih, sudha lama tak baca cerpen. Membaca ini seperti memulangkan sy pada masa2 jomblo yg bebas membaca kapan saja.
ReplyDeleteAh, kasihan desi. Aku sdh tau soalnya gimana oerihnya jd yatim piatu.
Bagus banget. Biasanya aku gak tahan baca cerpen bertema sejarah, tapi ini keren, tau2 udah ending aja
ReplyDeletelatar belakang cerita yang seperti ini diangkat dari apa ya kak? apa emang cerita dari era terdahulu atau berangkat dari imajinasi doang
ReplyDeletedari sejarah nyata yg disisip tokoh fiktif dilebay2 dg imajinasi
DeleteJadi sebenarnya Owari itu siapa? Gak terjawab sampai cerpen selesai. Kerenlah. Apa lagi kalau dijadiin Novel
ReplyDeletememang anak Jepang yang dibawa dari sana ke Indo. dulu, menurut referensi yg kami baca, org2 jepang datang ke Jambi sbg keluarga. setelah belanda pergi, ternyata masing2 mrk tdk ada hubungan darah. org2 dewasanya adalah tentara
Deletemba, aku suka bacanya. ngalir aja gitu bawaan. dan buat aku nyaman bacanya apalagi aku gak suka baca cerpen
ReplyDeleteJadi salfok ke bagian akhir cerpen, tokoh "aku" mengaku buta huruf, tapi naskah cerpennya tuntas. Saya jadi merasa tokoh utamanya lebih cocok diceritakan dengan sudut pandang orang ketiga, hehe
ReplyDeleteWell, kalau boleh jujur, saya tak pernah berani menulis cerpen berlatar kisah historis--beraninya baru sampai bawa kearifan lokal
Duuh emang nggak bakat saya bikin cerpen fiksi. Aali suka nge-blank gitu aja. Baca cerpen ini saya jadi terpacu ingin berusaha menulis cerpen lagi.
ReplyDeleteCerpen yang bagus. Seolah hidup dan nyata. Bagus banget, Kak!
ReplyDeleteTerima kasih
DeleteCerpennya menuentuh sekali dan temanya nggak umum, aku suka settingnya jadi kangenu nulis fiksi dan cerpen lagi...
ReplyDeleteberarti memang banyak yg pada minggat ya. cerpen gak laku lagi >.<
Delete