ilustrasi dari unsplash.com dengan sedikit perubahan |
Kambing itu berdiri
saat melihatmu. Ia hendak berlari ke arahmu, tapi tali di leher membuat kakinya
tak bisa melangkah lebih jauh. Ia mengembik kencang.
“Boleh aku
mendekatinya?” tanyamu pada salah satu centeng.
“Kalau kau siap mati,”
jawab salah satu dari mereka.
Satu orang mendekati
yang tadi bicara, ia seperti bernegosiasi. Kau kenal baik wajah centeng itu, ia
warga kampung yang juga mengenalmu.
Centeng itu melambai
padamu, menyilakanmu mendekat.
Nur menunggumu
antusias, gegas kau mendatanginya.
“Bagaimana kabarmu?”
tanyamu pada kambing itu. Tiga centeng tadi tertawa melihat polahmu. Mereka
tidak menjauh, mungkin begitu titah majikan mereka.
Nur bergeser sedikit,
kau mengikutinya. Demikian pula tiga centeng penjaga.
“Tak perlu kemari,
nanti bos mereka mengira benar kau mencuri aku dari sini,” ujarnya berbisik.
Centeng yang mengenalmu
mendekat. Dahinya mengernyit.
“Kenapa?” tanyamu pada centeng
itu.
Ia tak menjawab, tapi
melihat padamu dan pada kambing di depanmu. Bergantian beberapa kali. Lalu ia
berdiri perlahan, pandangannya tak lepas dari kepala kambing itu.
Kau memilih diam. Sebab
centeng itu tetap bergeming di antara kalian.
“Sampai kapan kau akan
di sini?” tanya centeng itu kemudian.
“Boleh aku meminjamnya
sebentar?”
“Hah, kau gila? Justru
aku dibayar untuk menjaga kambing ini sampai disembelih. Supaya tidak dibawa
orang, khususnya kau.”
“Kan selalu aku
kembalikan.”
“Berarti benar kau
membawanya setiap hari?”
Kau menggeleng. “Baru
kali ini aku ingin lakukan.”
Terdengar suara deru
mobil. Kau dan centeng menoleh pada asal suara.
“Pak Ali datang, lebih
bagus kau pergi!” perintah centeng itu, demi kebaikanmu.
Kau pun mematuhinya. Baru
kali ini kambing jantan itu membuatmu iba.
Malamnya kau tak bisa
tidur. Tak perlu bangku sekolah untuk menyatukan cerita Kambing Jantan dan
ibumu. Kau telah meyakini dengan pasti, kambing itu adalah ayahmu. Satu hal masih
belum terpecahkan, bagaimana ayahmu bisa berubah menjadi kambing. Bagaimana
pula mengembalikannya menjadi manusia lagi?
Kau harus mencurinya.
Kali ini kau benar-benar akan jadi pencuri. Hanya tersisa satu hari untuk
menyelamatkan satu-satunya keluarga yang kaupunya.
Cerpen psikologi: Rantai
Kau terduduk di atas
dipan, merencanakan kejahatan pertamamu. Dipan berderit saat kau mulai
meninggalkannya. Kau akan membalaskan rindu ibumu pada laki-laki yang terkena
kutukannya—itu hanya tebakanmu. Kau akan membawa lari kambing jantan itu
sejauh-sejauhnya. Kau sungguh bertekad.
Gelap makin pekat saat
kau berada di tengah belukar. Rumah Pak Ali hanya selemparan batu dari tempat
kau berdiri. Nampak para centeng bermain remi, perempuan-perempuan muda
pembantu rumah masih keluar masuk. Keluarga tuan rumah menghalau anak-anak
mereka agar segera tidur. Kau menunggu dengan segala risiko. Tak masalah,
karena sejak lahir kau adalah laki-laki penyabar.
Ketika burung hantu
mulai meratus, hanya tinggal kau dan para centeng yang terjaga. Kandang kambing
temporer yang menempel pada garasi, dijaga ketat oleh setidaknya lima orang
laki-laki. Kau berjongkok memperhitungkan kemungkinan.
Dalam menit-menit
kesenyapan, dari kejauhan kaulihat pintu kandang terbuka. Jantungmu berdetak
cepat, rasanya jalan niatmu terbuka tanpa dinyana. Seperti saat memasuki
rumahmu, moncong Nur lebih dulu muncul di balik pintu kandang. Sangat perlahan,
badan, kaki, hingga ekornya pun menyusul.
Dengan gembira kau pun
maju untuk menyambutnya. Jangan sampai kambing itu datang ke rumahmu yang
kosong, dan ia keburu dibawa kembali ke kandang. Kali ini kau akan membawanya
lari sejauh mungkin. Sampai semua orang lupa.
Satu centeng meletakkan
kepalanya di meja, ia menguap berulang-ulang. Satu lagi berdiri meninggalkan
teman-temannya, masuk ke rumah. Sisanya begitu khusyuk dengan kartu di tangan
mereka.
Kau dan kambing itu
sama mengendap. Kau merunduk, berjalan nyaris merangkak. Nur berlari pelan
setelah melewati sela pagar, kau pun refleks berlari ke arahnya.
Suara tawa tiba-tiba
memerangahkan kalian.
“Akhirnya!” seru satu
di antara para centeng yang memergoki kalian.
“Jadi begini cara
kalian setiap hari bertemu?” centeng yang siang tadi menolongmu berujar.
Dua orang memegangimu.
Tubuh mereka terlalu besar untuk kaulawan. Seorang centeng mengangkat Nur yang
terus meronta tanpa mengembik. Lima orang itu tertawa senang.
---
Karena rekam jejakmu di
kampung tanpa cela, warga sepakat tak ingin kau dibawa ke kantor polisi. Pak
Ali sendiri ingin sekali melakukannya, karena para centeng juga tak bersedia
memukulimu. Setelah dilakukan rembuk di masjid—karena kambing yang kabarnya hendak
kaucuri sudah diniatkan untuk ritual masjid—akhirnya diputuskan kau dikurung di
rumahmu sendiri. Dijaga banyak orang, agar tak pergi ke mana pun.
Segala benda tajam
dikeluarkan dari rumahmu. Pintu dan jendelamu dipalang dari luar, baru akan
dibuka jika hewan kurban telah selesai disembelih.
Demikian pula dengan
kambing jantan itu. Di saat kambing lain dibiarkan di luar, diikat pada pohon
dan pagar, ia dikurung sendiri dalam kandang. Kandangnya pun dipalang seperti
rumahmu.
Kau menangis pasrah.
Tenagamu lebih dari cukup untuk menghancurkan pintu berpalang sepuluh sekalipun.
Tapi jika kau melakukannya, seluruh warga akan mengantarmu ke kantor polisi.
Kau bisa berakhir di penjara atau rumah sakit jiwa, begitu kata Ketua RT yang
selama ini selalu baik padamu.
Dari pagi, awal mula
kau dikurung, hingga malamnya, kau hanya bisa tafakur.
Suara azan dari masjid selalu
bisa terdengar hingga ke rumahmu. Demikian pula suara takbiran esok paginya.
Kau termenung sejenak di depan pintu, menghitung kembali untung ruginya melakukan
perlawanan.
Orang-orang yang
menjaga rumahmu tak lebih dari tiga orang. Kau bisa melawan mereka. Tapi lalu
apa? Kau masih bimbang.
Solat Iduladha telah
bubar, menurut perkiraanmu. Kau mengumpulkan tenaga. Bersiap dengan segala
kemungkinan, yang terburuk sekalipun.
Panitia masjid telah
memanggil para penyumbang hewan kurban agar melihat prosesi penyembelihan.
Hatimu kian getir.
Dalam hitungan mundur
yang panjang, tenagamu terkumpul. Energimu penuh.
Brak! Pintu kaudobrak.
Butuh satu pukulan lagi
untuk bisa meloloskan diri. Yang ditugasi menjaga rumahmu seperti tak menyangka
kau akan melakukan itu, lama mereka dalam kekagetan.
“Itu Nurman!” Suara teriakan.
“Astaghfirullah.”
“Innalillah....”
Pengeras suara masjid mengirimkan
aneka gumam dan teriakan orang-orang di sana. Kau terpaku mendengarnya.
Dari balik pintu yang
separuh hancur, kaulihat orang-orang berlarian ke arahmu. Wajah mereka panik
dan penuh kengerian.
“Wan, kambing itu ...”
“Wan, ada ayahmu di
teras masjid.”
“Wan, kambing itu
berubah jadi ayahmu!”
“Tapi
ia telanjur disembelih.”
Masih mencoba mencerna clue yang menyebabkan si kambing jadi ayahnya.
ReplyDeleteBingung karena ini sudah bagian akhir. 1-4 nya di kompasiana, hehe
ReplyDeleteSungguh bikin pensaran untuk baca bagian-bagian sebelumnya... ^_^
ReplyDeleteDiksinya mantap betul mbak, saya harus berfikir dua kali memahami tiap paragrafnya hehehe
ReplyDeletepenasaran dengan kisah selanjutnya, oh ya aku kira tadi dari judulnya itu bakalan kebayang seperti Kambing Jantan punya Raditya Dika haha
ReplyDeletesudah habis, sadly ...
Delete