unsplash.com
Sejak dirukiah, Widodo menjadi agak tenang. Walau menurut beberapa orang, pengobatan dengan rukiah tidak nyambung untuk Widodo.
Ia bukan kena sihir, tidak ada urusan dengan jin. Tapi suka nyeleneh saat berhadapan dengan orang lain. Hobinya mendebat. Kalau tidak berhasil menguasai forum, dia akan menggebrak-gebrak meja. Jadi saudara-saudaranya memutuskan untuk merukiah Widodo, terserah apa pun alasannya.
Kata ustaz yang merukiah, Widodo harus bisa mengobati dirinya secara mandiri. Ustaz bukan dukun, dokter pun bukan. Sedangkan Al-Qur'an memang obat, tapi harus dibaca sendiri oleh yang bersangkutan. Ustaz bersedia mengajarinya, atau orang lain yang lebih dia percaya, begitu pesan Ustaz Karim.
Widodo memilih belajar agama dari rumah, berguru pada Google dan Youtube. Ibu dan saudara-saudaranya senang, Widodo lebih suka di dalam rumah, tidak lagi membuat keonaran. Ia rutin menyimak beragam kajian dan membaca aneka artikel di internet.
Ketika Ustaz Karim bertandang untuk silaturahmi, beliau kaget. Widodo sedang mengetik sebuah opini yang ditujukan kepada seorang pejabat. Disisipi gambar tak elok yang dijamin akan membuat postingannya viral.
“Hati-hati main media sosial, Akhi! Nanti kena Undang-Undang ITE,” saran Ustaz Karim.
“Menteri brengsek ini sudah lebih dulu melanggar UUD, Ustaz! Kurang ajar betul dia dengan kebijakannya.” Widodo masih asyik mengetik dengan laptopnya.
Ustaz Karim menyimak tulisan Widodo yang kebanyakan huruf kapital dan tanda seru berganda. Kemudian sang ustaz melihat lampu-lampu kecil berkedip di dinding dekat ia berdiri. Ide di kepalanya langsung muncul.
“Anjay! Mau di-post malah gangguan!” teriak Widodo sembari menggebrak meja laptop.
Salah satu abangnya yang sedang menjawab obrolan WAG terlompat kaget. “Dia kambuh ya, Taz?” melihat pada Ustaz Karim.
“Umurmu berapa, Do?” Bukannya menjawab pertanyaan Abang Widodo, Ustaz Karim malah bertanya pada Widodo.
“Dua empat, Taz!” Widodo menjawab tanpa menoleh.
“Itu pertolongan Allah. Kalau internetnya tidak gangguan, kemudian postingan-mu viral. Kamu masuk penjara, ibumu nangis-nangis. Kakak-kakakmu pasti repot semua.
"Keluar dari penjara, siapa yang sudi kamu nikahi? Akhwat-akhwat dari yang jilbab sorong sampai yang cadaran gak bakal mau sama mantan narapidana!”
Widodo langsung menghentikan aktivitasnya. Perlahan menoleh pada Ustaz Karim.
Yang ditoleh pasang ekspresi meyakinkan. “Siapa yang bersedia dinikahi orang yang pernah dipenjara?” ulangnya lebih dekat ke wajah Widodo.
“Saya enggak pernah ganggu Ustaz. Sebisa mungkin patuh pada Ustaz. Tapi jangan senggol modem saya!” balas Widodo berteriak.
Abang Widodo menepuk kepala adiknya, lalu minta maaf pada sang ustaz. Dan secara halus meminta Ustaz Karim pamit saja.
Widodo aktif di media sosial. Hari ini merundung, besok dirundung warganet lain. Dia sudah biasa saling maki di rimba internet. Kebas.
“Kamu itu mbokya ngaji yang bener, Do! Jangan bikin ribut. Ibu bisa sakit kalau mikirin kamu terus!” tegur salah satu kakak perempuan Widodo.
Ada lebih dari satu keluarga di rumah itu. Saudara Widodo yang sudah menikah masih tinggal di sana, karena rumah itu cukup besar. Widodo sendiri adalah yang ketujuh dari tujuh bersaudara. Bungsu kesayangan keluarga.
“Mager ah! Enakan ngaji dari rumah. Bebas pilih guru yang mana saja.”
“Takutnya kamu malah terpengaruh aliran sesat. Ikut-ikutan ngebom.” Kakaknya mengeluh.
Widodo justru tertawa. “Bukannya kalau sering keluar nanti aku malah ikut demo. Terus digebukin polisi, mati muda.”
“Hus! Jangan sembarangan ngomong. Bisa jadi doa!”
“Keluar salah, di rumah salah.” Widodo geleng-geleng.
“Ya ambil tengah-tengah. Keluar untuk yang baik-baik, kalau tidak ada manfaat biar di rumah saja. Main sama keponakan!”
“Cari kerja!” salah satu abang Widodo yang kebetulan lewat, nyeletuk.
“Ini aku lagi kerja.”
Kakak Widodo melongok ke layar laptop.
“Sedang edit video. Doakan saja banyak yang nonton, nanti aku dibayar dolar sama Youtube. Sekarang zamannya kerja dari rumah.”
Kakak perempuan Widodo ngeloyor keluar dari kamar. Tak berminat menyimak. Widodo pun tak ambil pusing, dia memang lebih suka dibiarkan sendirian.
Cerbung: Kambing Jantan Ibumu
Satu tahun asyik dengan internet, Widodo tidak pernah kena ‘ciduk’. Meski terkesan cuek, ternyata dipakainya juga nasihat Ustaz Karim dan saudara-saudaranya. Ia kurangi ngomel di media sosial. Sebab postingannya bisa mempengaruhi minat orang terhadap konten videonya.
Widodo belajar dari banyak sumber. Ia memilih konten netral agar banyak peminat videonya. Mem-branding diri di sana sini, menghapus banyak postingan yang sebelumnya sempat memancing keributan.
Berkat kesabarannya, Widodo akhirnya berhasil mencicipi dolar yang biasa dipamerkan teman-teman satu minatnya di grup. Perlahan, pundi-pundi uangnya pun menunjukkan hasil. Widodo bisa membayar tagihan wifi-nya sendiri. Bahkan ia mampu membeli satu unit sepeda motor secara kes!
Keluarganya senang. Ternyata benar kata orang-orang, bukan rukiah yang bisa menyembuhkan Widodo, tapi pekerjaan yang menghasilkan kemapanan.
Tapi tetangga Widodo mulai resah. Ia jarang keluar rumah, tapi uangnya banyak. Desas-desus beredar. Kalau bukan jaringan narkoba, Widodo pastilah terpapar radikalisme. Ibu-ibu pengajian menebak-nebak uang yang Widodo dapat, dari jual sabu atau kiriman ISIS?
Ustaz Karim yang mendengar obrolan mereka segera menyambangi rumah Widodo.
“Assalamu’alaikum, Akhi!”
Widodo menyambut dengan suka cita. Membuktikan, bahwa uang tak membuatnya sombong, malah justru ramah.
“Kenapa jarang keluar rumah?” Ustaz Karim langsung pada pokok pembicaraan.
“Faktor pekerjaanlah, Taz!”
“Masa sampai salat pun tidak ke masjid. Katanya kemarin ngaji di Youtube.”
“Belok, Taz. Jadinya sekarang cari uang di situ. Kan pekerjaan milenial!” Widodo tertawa bangga.
Ustaz Karim manggut-manggut. Ia membenarkan, “Memang zamannya, ya. Tapi ibu-ibu itu tidak paham.”
“Kenapa ibu-ibu, Taz?”
“Enggak ada apa-apa. Sudah mapan gak mikir nikah?” Tahu-tahu Ustaz Karim nyeplos ke topik yang sebelumnya tidak direncanakan. Ia hanya ingin menjauhkan Widodo dari membahas prasangka ibu-ibu pengajian.
“Nah itu, Taz. Ibu sama abang dan kakakku juga bilang begitu. Ustaz punya calon?”
“Oh banyak!” Ustaz Karim antusias mendengar pertanyaan Widodo. Banyak perempuan baik yang masih menunggu jodoh. Daftar itu ada di tangan istrinya. “Kamu buat saja proposal menikahnya, nanti saya diskusikan dengan istri, mana yang cocok buatmu.”
“Yang cantik ya, Taz. Putih, tinggi, masih muda. Kalau bisa ASN!”
Ustaz Karim menelan ludah. Dalam hati ia ingin mengumpat, tapi yang keluar dari mulutnya hanya istigfar.
“Kenapa, Taz? Ada yang salah?” Widodo mengejar Ustaz Karim yang hendak pamit.
“Biasanya yang cantik itu boros.”
“Duitku kan banyak!” Widodo semringah.
“Kalau dia mau sama kamu karena duit, begitu duitmu habis, cintanya juga habis.”
“Duitku banyak Taz. Kuinvestasikan ke usaha lain, bukan cuma …”
“Terserah padamulah! Buat saja proposalnya. Nanti ada ustaz lain yang memberi tausiah tentang pernikahan.”
“Enggak jadi ah! Aku mau cari pacar di Instagram saja!” Widodo tertawa kegirangan, berhasil mempermainkan Ustaz Karim.
Sejak hari itu, Ustaz Karim tidak pernah lagi bertandang ke rumah Widodo. Bahkan ketika Widodo menikah, ia hanya datang sebagai tamu undangan. Padahal ustaz yang sekaligus imam masjid itu, diminta keluarga Widodo untuk menjadi penasihat pengantin.
Meski masih jengkel dengan sikap Widodo, Ustaz Karim tetap mencarikan penceramah yang menurutnya paling pas untuk menyampaikan tausiah.
Maka hadirlah di sana Ustaz Banu. Seorang motivator sekaligus pemilik akun media sosial yang ramai pengikutnya. Tak hanya menasihati pengantin, Ustaz Banu juga sukses mengajak orang-orang untuk berhijrah.
Terbukti banyak yang tertarik pada profil dan kiriman-kiriman di media sosialnya.
Begitu pula dengan Widodo. Ia yang dulu pernah dirukiah Ustaz Karim dan banyak mendapat nasihatnya, justru merasa tak cocok dengan ustaz itu. Inilah jalan pilihannya! Widodo menetapkan pilihan.
Menjadi muslim yang gaul, Widodo sukses dengan kanal Youtube-nya. Di antara semua anak ibunya, hanya Widodo yang memutuskan keluar dari rumah besar keluarga itu. Hidup bersama istri dan bayi mereka di sebuah rumah sederhana, hasil jerih payahnya di internet.
Kehidupan Widodo terbilang gemilang. Ia menjadi inspirasi banyak orang, terutama anak-anak muda. Widodo diundang ke sana kemari untuk memotivasi pasangan-pasangan muda bersama Ustaz Banu.
Kemudian ujian itu datang. Anak Widodo yang ketiga wafat, ketika baru saja dilahirkan. Kata dokter yang menangani istrinya, perempuan cantik yang bekerja sebagai ASN itu kelelahan. Kandungannya tak kuat lagi menahan tekanan hidup sang ibu.
Widodo kemudian menyadari, kesibukannya membuat ia abai akan kebutuhan istri terhadapnya. Juga kebutuhan dua anaknya terhadap kehadiran ayah mereka. Widodo insaf!
Ia kembali pada Ustaz Karim yang masih menjadi imam masjid. Hidupnya masih sesederhana dulu, sudah melupakan sikap Widodo padanya. Tapi tak banyak yang bisa disampaikan Ustaz Karim pada Widodo. Ia hanya memberi nomor kontak yang bisa dihubungi Widodo untuk belajar tentang pentingnya keluarga.
Mengingat Ustaz Karim pernah mempertemukannya dengan Ustaz Banu, kali ini Widodo khawatir ia akan tergelincir untuk kedua kalinya. Widodo betul-betul ingin mengubah hidupnya. Dunia sudah tak menarik perhatiannya lagi. Ia kaya raya! Saat ini yang kosong adalah jiwanya. Ia butuh penuntun yang paripurna.
Maka Widodo menemukan sosok itu pada Muhammad bin Abdullah, manusia terbaik yang pernah ada. Setelah berkonsultasi pada Google, Widodo bergabung pada kelompok pengajian yang menurutnya lebih serius daripada Ustaz Karim maupun Ustaz Banu.
Nomor kontak yang diberikan Ustaz Karim ia simpan saja, jika nanti pilihannya ini tidak tepat. Widodo ingin mendalami agama melebihi ustaz-ustaz yang pernah menjadi gurunya. Ia ingin seperti Rasulullah!
Terjadi banyak perubahan pada hidup Widodo. Ia jauh lebih religius. Internet dan podium tak lagi menjadi ajang eksistensinya, meski tak sepenuhnya ia tinggalkan. Widodo lebih sering di rumah membantu istri dan bermain dengan anak-anaknya.
Sekarang Widodo bukan hanya teladan di media sosial, ia juga sosok paling membanggakan di keluarga besarnya. Ustaz Karim yang sempat kecewa karena diabaikan pun, turut bahagia melihat perkembangan Widodo.
“Saya dulu pernah salah mengidolakan,” Widodo membuka tausiahnya di hadapan para pemuda seusia dia waktu masih melajang. “Saya ngefans sama ustaz itu, senang sama ustaz ini. Padahal ada yang lebih hebat dari mereka semua.”
Widodo mengenang-ngenang masa jahiliyahnya. Memuji-muji kelompok tempat ia dan para jamaah itu duduk saat ini. Mereka berada di dalam sebuah masjid kecil, dengan kamera kualitas terbaik di dua sudut belakang.
“Kalau saja saya masih di sana. Belajar Islam asal-asalan, jelas akhirat saya tidak selamat. Hanya dengan mengikuti Al-Qur'an dan mempraktikkan sunah, kita bisa menjalani hidup ini lebih tenang.
Dengan adanya internet, kita yang hidup di zaman ini mendapat kemudahan untuk belajar agama. Tak perlu ustaz ini itu. Bahkan saya sekarang dipanggil ustaz. Terima saja, namanya orang punya mulut, ya terserah mereka mau panggil saya apa.”
Jemaah tertawa.
Tiba-tiba terdengar suara perempuan dari pintu masjid. Jemaah yang semuanya laki-laki menoleh.
“Mas, pulang! Ada perempuan mencarimu di rumah. Katanya dia istrimu juga, sudah dua bulan belum dapat transferan!” Istri Widodo bergegas pergi setelah menyampaikan berita ke suaminya.
Kamera yang tadi berpindah fokus ke pintu masjid, dimatikan paksa oleh Widodo. Ia buru-buru pulang.
Dalam satu bulan kemudian, nama Widodo menjadi topik yang viral di berbagai portal berita dan media sosial. Sunah poligaminya menghasilkan banyak pahala, karena jutaan orang menghujatnya di dunia maya.
|
Cari di iluvtari
Cerpen Milenial: Widodo Berburu Ilmu
loading..
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
Masyaallah Widodo, mewakili banyak karakter warganet zaman now. Menarik sekali ceritanya Kak. Suka bagaimana pemikiran tak biasa Widodo bs menjadi kisah yg panjang.
ReplyDeletehehe, terima kasih
DeleteDuh duh puyeng dengan tingkah Widodo, tapi memang kerap terjadi kelakuan seperti ini ya pada kaum milenial, dimudahkan teknologi..bisa tergelincir karena teknologi dan internet juga
ReplyDeletePesan untuk Widodo, kalau mau jalani sunnah yang itu, ya minta persetujuan sama yang pertama dulu. Terus jangan sering-sering lihat Instagram, banyak selebgram yang bisa menggoda iman
ReplyDeletesecara syariat gak perlu izin. widodo contoh org belajar agama dr internet, ngerti syariat tp gak paham adab
Delete