Kamu tahu, pekerjaan yang paling menyenangkan adalah menjadi editor! Salah
satunya, karena bisa baca buku gratis sekaligus mengkritisi penulisnya secara
langsung.
Sebuah Janji di Pulau Kecil entah novel keberapa yang kuedit. Dalam
beberapa hal, mengerjakannya lumayan enak. Aliran cerita novel ini diawali
dengan deskripsi yang menarik. Tentang sebuah daerah yang jauh dari hiruk pikuk
kota, tentang kesederhanaan. Dan pembaca akan terjebak jika hanya berhenti pada
bab awal pembukanya.
Sebuah Janji di Pulau Kecil berkisah tentang Farabi, pemuda tamatan
madrasah dari Kabupaten Indragiri, Riau, tepatnya Desa Pulau Kecil, yang berhasil
menaklukkan ego cintanya pada seorang gadis kota nan cantik dan penuh prestasi.
Perjodohan di Suku Bugis
Sekelumit kisah cinta Farabi dimulai sejak ia remaja. Besar bersama sepupu
yang memiliki pemikiran sama, membuat Farabi yang semula dinamai Yasin oleh
penulisnya, jatuh cinta pada Hafshah.
Di hati Farabi, Hafshah bukan sekadar sepupu. Ia sahabat dan kekasih
sekaligus. Mereka sama-sama menyembunyikan perasaannya meski sama-sama
mengetahui perasaan yang lain. Khas remaja desa dalam gambaran di benak kita.
Aku cukup bersyukur penulis tidak muluk-muluk dalam mengumbar sisi religiositas
dalam interaksi antara Farabi dan Hafshah. Sebab meski mereka adalah siswa
madrasah, tertarik pada lawan jenis adalah hal yang normal. Bahkan khas pada
usia remaja.
Bahwa Farabi dan Hafshah adalah anak desa, itu tidak masuk hitungan.
Centil ya centil aja!
Artinya, meski novel ini jelas adalah novel religius, tapi bisa dinikmati
semua kalangan dan cukup sesuai dengan realitas dalam kehidupan.
Farabi dan Hafshah pada akhirnya dijodohkan, sebagaimana adat kebiasaan
dalam Suku Bugis, mayoritas penduduk dalam latar tempat novel tersebut. Sayang,
penulis tidak mengangkat lebih jauh tentang adat Bugis lainnya. Atau kebiasaan
yang banyak diketahui orang luar suku ini, tapi tidak dipahami alasannya.
Misalnya, kenapa Orang Bugis menganggap naik haji adalah prestise. Kenapa
banyak dari mereka menyimpan emas di gigi, mengapa perempuan Bugis dihargai
mahal? Dan banyak pertanyaan yang jempalitan di kepalaku. Yang kupikir juga ada
di kepala non-Bugis lainnya.
Atau bongkar sedikit alasan orang Bugis suka menikah antarsepupu. Apakah
alasannya sama dengan Suku Kerinci, para Habib, bahkan Kaum Yahudi. Ah, itu sih
maunya editor!
Farabi dan Hafshah dijodohkan bukan karena alasan suku, bahkan ayah
Hafshah sepertinya tidak setuju dengan kebiasaan itu. Tapi penulis tidak
menjabarkan alasan yang lebih luas. Misalnya tentang pendapat ‘Aisyah radhiyallahu
‘anha yang tidak menganjurkan menikahi sepupu dengan alasan kesehatan.
Si Doel Versi Sumatra
Sebagai milenial yang menikmati indahnya tahun 90-an, otomatis saja aku terkenang
sinetron “Si Doel Anak Sekolahan” saat membaca kisah Farabi bertemu Sahara.
Farabi adalah Doel versi Sumatra (karena selain Riau, penulis juga memakai
Jambi sebagai latar). Dan entah faktor inspirasi yang sama, atau hanya kebetulan, Sahara punya nama yang mirip dengan Sarah pada sinetron Betawi
yang melegenda itu.
Sebagaimana Doel yang saleh, cerdas, dan tampan, Farabi pun demikian.
Farabi dihadapkan pada dua pilihan; gadis kota yang cantik dan modern atau
gadis desa yang lembut dan sederhana. Seperti Sarah dan Zainab, kan?
Kalaupun memang terinspirasi oleh sinetron itu, ya tak masalah. Yang jadi
masalah (menurutku) adalah betapa sempurnanya seorang Farabi. Saking
sempurnanya, gadis mana pun yang sempat berinteraksi dengannya, akan jatuh
cinta. Apakah faktor alis tebalnya yang sering bertaut itu? Entahlah, standar
ganteng setiap orang itu berbeda.
baca juga >> Cerpen Pilihan dari Kumcer Jambi
Jadi teringat pula dengan Fahri-nya Kang Abik yang bak malaikat. Tahu kan
betapa banyak caci maki yang didapat Habiburrahman El-Shirazy saat "Ayat-Ayat
Cinta" mengguncang dunia perbukuan, hingga merambah ke layar lebar?
Meski banyak yang mengkritik dengan syahwat—karena sakit sekali hatinya,
sastra Islami bisa selaris itu—tapi aku cukup setuju pada poin kesempurnaan
seorang Fahri. Begitu pun Farabi.
Bisa jadi, bukan faktor tampang yang membuat Farabi laris manis.
Barangkali sikapnya yang ramah dan tuturnya yang baik. Nah, kesimpulan ini
harus kubuat sendiri, tanpa ada penjelasan dari penulis (atau terlewat dari
mataku, ya?)
Belum lagi adegan Sahara mengejar-ngejar cinta Farabi yang bak FTV.
Sebagai perempuan, jengkel aku membacanya. Tapi siapa tahu, perempuan lain
memang begitu. Toh penulisnya juga perempuan, tentulah dia sudah melakukan
riset walau kecil-kecilan.
Ternyata Anggota FLP
Awal 2000-an, buku kumcer (kumpulan cerita pendek) membanjiri pasar. Bisa
dibilang, separuhnya berlabel logo FLP (Forum Lingkar Pnea). Awalnya itu merupakan sebuah
kebanggaan, sampai kemudian, euforia sastra Islami mengalami titik balik.
Setiap melihat logo FLP pada buku kumcer, orang akan mengembalikannya ke
rak. Tidak jadi membeli, atau bahkan sekadar meminjam di perpustakaan. Apa
pasal? Kebanyakan anggota FLP menghasilkan karya yang keasmanadia-asmanadiaan
atau kehelvy-helvyan. Bahkan ada semacam cemooh, isi cerpen anak FLP
dari Sabang sampai Merauke, ya begitu-begitulah!
Semua menjadikan Asma Nadia dan Helvy Tiana Rosa sebagai panutan, bahkan
standar dalam segala hal. Untunglah kemudian ada Alimuddin dari Aceh, Ragdi F.
Daye Sumbar, Azwar, Benny Arnas, dll, yang mampu lepas dari bayang-bayang para
pendiri FLP itu.
Eh, jangan bilang tak kenal FLP, ya? Itu komunitas penulis terbesar di
Indonesia loh! Dan aku adalah salah satu pendirinya untuk wilayah Jambi,
sihiiy!
Novel Sebuah Janji di Pulau Kecil ternyata adalah karya salah satu
dari penulis FLP. Tidak seperti dulu, yang mana gaya bahasa dan alur ceritanya gampang
tertebak milik penulis FLP, novel ini tidak sedemikian gamblang. Tapi bahwa
penulisnya berada dalam gerbong “ikhwan-akhwat komunitas hijrah”, jelas terasa.
Yang paling penting adalah, nilai-nilai Islam yang dibawa penulis ini
tidak terkesan dipaksakan. Bukan asal tempel, seperti yang kadang dilakukan oleh
beberapa penulis pemula. Dan yang lebih menggembirakan adalah, pilihan kata
yang digunakan ternyata banyak yang sesuai dengan EBI (Ejaan Bahasa Indonesia)—dulu
disebut EYD (Ejaan yang Disempurnakan). Sepertinya penulis terbiasa membuka
KBBI.
Alhasil, kerjaku tak terlalu keras untuk memperbaiki agar sesuai PUEBI
(Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia). Hanya sedikit saltik dan kalimat rancu
akibat perubahan nama dengan cara instan lewat menu replace. By the
way, kamu kenal penulisnya?
Sejak bukunya ada di tanganmu nanti, jangan pernah lupa pada Ilma Wahid. Penulis
asal Riau yang mengenalkanmu pada Farabi, si Daeng Pujaan. Farabi adalah cowok panutan
masa kini yang berhasil memenangkan cinta halal di atas syahwat, yang sebenarnya
mudah saja diperturutkan.
Setelah naik turun emosi menyimak kisah cinta, bisnis, dan usaha Farabi memajukan
madrasahnya, kamu akan dipaksa membuka kembali halaman awal, begitu melihat
bagaimana Ilma menuntaskan kisah ini. Kamu pikir Farabi akhirnya menikah dengan
Hafshah? Atau Sahara? Dijamin kamu salah menebak!
Jujur banget ulasannya.
ReplyDeleteSuka aku tuh
pencitraan udah abis di 2019 kak, kena banjir
Delete