Cerpen tentang kehidupan ini ditulis oleh Herris Isna Alwany, alias Herry Supriyadi. Diterima setelah beberapa cerpen lebih dulu masuk ke surel iluvtari.
Sebagaimana janji di awal, di hari yang sama dengan terbitnya cerpen ini, apresiasi yang tidak seberapa sudah disampaikan kepada ybs. Yuk simak karya penulis asal Semarang ini!
SEPERTI hari-hari biasa, Sutinah menjajakan barang dagangannya dengan cara berkeliling kota. Ke kompleks perumahan, perkantoran, halte, bahkan di kompleks lokalisasi.
Pecel lontong plus gorengan adalah menu kesukaan orang kelas menengah ke bawah. Dengan menggendong daganganya serta menenteng ember tempat air kobokan, Sutinah berteriak-teriak menawarkan.
Senyum di bibirnya sengaja dipamerkan ketika menawarkan dagangan kepada setiap orang yang ditemui. Dia berharap senyumannya itu bisa memberikan daya tarik tersendiri, supaya orang mau membeli lontong pecelnya.
Matahari sudah mencapai puncak kulminasi, hingga teriknya hendak membakar kulit. Sutinah tetap semangat. Berkeliling di tempat-tempat yang biasa dilalui. Ujung selendangnya dijadikan sapu tangan untuk mengusap keringat nampak basah kuyup.
Di jam-jam istirahat kerja begini, biasanya Sutinah mangkal di depan kompleks perkantoran. Dia berharap, langganan-langganannya mau makan siang dengan menu jualannya. Dan biasanya memang selalu begitu.
Wanita yang sebenarnya masih nampak segar itu meletakkan keranjangnya di teritis salah satu kantor biro jasa. Di sinilah, tepat pukul 12.00 WIB, biasanya Sutinah kerepotan melayani langganannya. Dan di sini pulalah, barang dagangannya laris manis alias ludes. Bahkan kadang kekurangan.
Pecel lontongnya memang bikin pembeli ketagihan. Maklum, orang Jawa desa ini mahir dalam mengolah menu tradisional, pecel lontong.
Begitu dagangan diletakkan, sesaat Sutinah menghela napas panjang. Menyeka keringat di kening dan wajahnya. Meraih dompet yang diselipkan di balik pinggangnya. Wow, Sutinah mengambil ponsel.
Ini yang beda. Meski hanya seorang penjual pecel lontong, tapi tidak mau ketinggalan dengan teknologi. Tapi bagi Sutinah, ponsel bukan untuk gagah-gagahan ataupun sekadar mengikuti zaman. Justru dengan membawa ponsel, Sutinah bisa mendapatkan langganan. Semua nomor langganan tersimpan di ponselnya.
Sesaat Sutinah memperhatikan layar ponselnya, siapa tahu ada pesan masuk. Biasanya jam-jam segini layar ponselnya dipenuhi pesan dari nomor-nomor pelanggan.
Tapi untuk kali itu, tidak ada pesan yang masuk. Sutina menghela napas, panjang sekali, dan berulang kali. Gantian memperhatikan pintu kantor di sebelahnya yang tertutup rapat. Tak ada tanda-tanda orang hendak keluar dan pesan pecel lontongnya.
Cukup lama Sutinah bertahan di teras kantor biro jasa itu. Sebentar-bentar matanya melihat layar ponsel. Belum juga ada pesan yang masuk. Wajahnya mulai gelisah. Hatinya mulai ketar-ketir. Hari ini benar-benar sepi.
Biasanya pada tengah hari begini, barang dagangannya hanya tinggal beberapa pincuk saja. Tapi saat ini, dari pagi tadi hanya terjual empat pincuk.
Mendadak wajah perempuan ini menegang. Seolah menemukan ingatan yang membuat dirinya sadar dan menyesali sesuatu.
“Oalah! Bukannya hari ini hari Sabtu Pon. Hari nahasku,” seru sutinah setelah menyesali diri.
Hari Sabtu Pon adalah hari meninggalnya Sumarto, suaminya. Selama ini Sutinah tidak pernah berjualan pada hari Sabtu Pon.
Bagi orang Jawa desa, hari meninggalnya seseorang yang dekat dalam hidup dianggap naga dina (hari sial). Tidak boleh melakukan aktivitas apa-apa. Kalau dilanggar, maka dia akan rugi.
Ingat itu, Sutinah tidak langsung pulang. Kalau memang harus merugi, dia juga tidak mau rugi banyak. Paling tidak, kembali modal. Meski hari itu hari pantangan, namun dia tetap akan menjajakan dagangannya.
Dengan dengusan napas dan suara keluhan, diangkat keranjang dan kembali menggendongnya. Baru saja hendak meraih ember, ponselnya mendendangan lagu Campursari “Tali Kutang”. Itu tanda ada pesan masuk.
Buru-buru janda ini mengambil dompetnya, mengeluarkan ponsel. Km d mana yuk, ditnggu2 kok g nongol2, dah pd nnggu nih.
Sekilas Sutinah tersenyum. Ada guratan kegembiraan muncul di air mukanya. Nomor dari langganan lama, tapi bukan di kompleks pertokoan ini, melainkan di lokalisasi.
Dengan semangat, Sutinah melangkah lebar. Menyusuri gang-gang sempit. Dia tidak berteriak-teriak lagi. Dia pengin cepat sampai. Dia tidak mau langganannya batal membeli dan makan di warung, karena kelamaan menunggu.
Dia juga berharap, Para PSK itu akan memborong pecel lontongnya. Dagangan habis sudah membayang. Dia tidak jadi merugi, sekalipun di hari nahas ini.
Dengan menghela napas panjang dan lega, Sutinah memperlambat langkah kakinya ketika akan sampai. Di salah satu teras rumah, sudah nampak para PSK duduk sambil bercengkrama dengan tamunya.
Di siang bolong begini, meski kadang beradegan ciuman, mereka tak merasa risih. Di tempat seperti ini, pemandangan seperti itu sudah biasa. Karena memang inilah tempatnya.
Agak canggung juga Sutinah menghampiri. Kadang dia merasa sungkan juga setiap berdagang di lokalisasi. Tapi apa boleh buat, justru di tempat inilah yang suka memberinya keuntungan.
“Waahh, ditunggu-tunggu dari tadi malah baru nyampe. Udah keburu kenyang, nih,” seloroh salah seorang PSK yang berwajah manis, tapi mukanya berbedak kelewat tebal hingga kelihatan menor.
“Berarti enggak jadi makan pecel lontong?” tanya Sutinah dengan nada luar biasa kecewa.
“Ya enggaklah. Emang perut karet. Udah makan mau makan lagi,” timpal PSK yang kelihatan sudah setengah tua tapi tetap kelihatan cling.
“Wahh, udah capek dibela-belain ke sini malah enggak ada yang makan.”
Sutinah tetap meletakkan keranjangnya. Sekadar menumpang istirahat tidak masalah. Siapa tahu setelah ada yang menyaksikan keletihannya, jadi ada yang merasa iba dan akhirnya membeli.
“Ya sudah. Biar enggak kecewa-kecewa banget, bikinin aku satu, Yuk!” ucap seorang lelaki yang duduk di sebelah salah satu PSK.
Wajah Sutinah kelihatan sedikit bercahaya. Dengan semangat dia mulai meladeni. Pecel bakmi sama irisan bakwan plus lontong. “Lontongnya berapa, Mas?”
“Lontongnya kok kecil-kecil gitu, sih?” si lelaki hidung belang itu protes.
“Ya biar kecil, tapi lontong Yu Sutinah ditanggung legit-legit. Bikin cepat puas dan kenyang,” seloroh salah satu PSK yang disambut tawa oleh rekan-rekannya.
Pesanana sudah jadi. Sutinah menyodorkan ke lelaki tadi. Matanya melihat para PSK satu-satu, siapa tahu ada yang mau pesan. Tapi tak seorang pun yang memperlihatkan tanda-tanda. Malah asyik dengan pasangannya masing-masing.
Sutinah kembali melihat barang dagangannya yang masih banyak. Helaan napas panjang terdengar. Barang dagangannya masih menggunung di keranjang. Hari ini benar-benar akan menjadi hari nahasnya. Namun dalam hati tetap berdoa, dagangannya bisa habis.
“Yang manggil Yuk Sutinah tadi kan Ningsih,” ujar PSK muda. “Dia ada di dalam. Masuk saja. Siapa tahu mau makan lontong pecel, sana!”
“Baik, Mbak,” serta merta Sutinah bangkit dan melangkah masuk. Ini sudah biasa dilakukan. Jadi tidak ada rasa sungkan masuk ke rumah bordir itu.
Tanpa kesulitan, Sutinah sudah menemukan Ningsih. Tapi lagi-lagi perempuan ini mengeluh. Si Ningsih, langganannya itu, lagi makan dengan pasangannya.
“Gimana lontong pecelnya, Mbak?” tanyanya sedikit canggung, takut kalau mengganggu.
“Lho, tadi ke mana saja, Yuk? Masa baru nyampe. Aku pikir enggak ke sini. Sudah telanjur beli ini,” jawaban yang enteng tapi luar biasa menyakitkan.
Akhirnya, tanpa berucap apa-apa, Sutinah pun berlalu keluar lagi.
“Eh, Yuk!” panggil Ningsih sambil membalikkan badan.
“Iya, Mbak.”
“Dagangan kamu masih banyak, kan?”
“Iya, Mbak.”
“Terus rencana mau dijual ke mana lagi?”
Muka Sutinah kelihatan sedih. “Enggak tahu, Mbak. Semua tempat sudah saya lewati, tapi enggak ada yang beli.”
“Artinya daganganmu bakal enggak habis, dong?”
“Iya, Mbak.”
“Artinya bakal rugi, dong?”
“Benar, Mbak.”
Ningsih diam, tapi memperhatikan sosok Sutinah yang berdiri di depannya. Dari atas hingga ke bawah. Diam-diam Sutinah merasa tidak enak hati diperhatikan seperti itu. Lebih-lebih ketika sesaat Ningsih berbisik-bisik dengan tamunya.
“Kamu mau dapat duit enggak?” tanya Ningsih setelah kembali memperhatikan Sutinah.
“Ya, Mau, Mbak. Wong saya jualan begini juga mau cari duit.”
“Enggak. Maksud aku, kamu bisa mendapatkan duit dengan cara lain yang mudah.”
Mendadak muka Sutinah berubah bengong. Bingung. Tidak tahu arah pembicaraan PSK itu. “Maksudnya apa, Mbak? Saya kok malah jadi bingung?”
“Aku kan lagi enggak enak badan, nih. Nah, bagaimana kalau kamu menemani tamuku ini. Kamu enggak usah khawatir, dia bisa bayar lebih dari penghasilanmu sehari. Gimana?”
“Ah, Mbak Ningsih ada-ada saja.”
“Aku serius, Yuk. Enggak mengada-ada! Kalau mau, silakan temani Bapak ini. Pokoknya kamu enggak akan rugi. Sudah dikasih kepuasan, dapat duit lagi. Bukannya kamu selama ini menjanda? Jadi enggak ada yang perlu ditakuti.”
“Tapi, Mbak ….”
Entah suka atau terpaksa, toh akhirnya Sutinah mau juga melayani lelaki hidung belang itu. Yang ada di benaknya saat ini adalah uang. Dia tidak mau merugi.
Saat di dalam kamar, Sutinah kelihatan takut-takut. Maklum, dia harus berduaan dengan lelaki yang bukan suaminya. Jujur, semenjak suaminya meninggal, tubuh Sutinah belum pernah disentuh oleh lawan jenis.
Selama ini dia memang merasa kesepian. Tapi sebagai perempuan baik-baik, dia tidak mau menggadaikan martabatnya.
Namun siang ini, di hari Sabtu Pon yang nahas ini, harga diri Sutinah benar-benar rapuh. Setelah semuanya terjadi, Sutinah menangis sambil membawa dagangannya pulang ke rumah.
💧💧💧
Amanah cerpen ini, terlalu percaya pada mitos membuat seseorang terperosok lebih jauh ke dalam keyakinannya. Sutinah yang semua hanya rugi beberapa pincuk pecel lontong, pada akhirnya justru mengalami kerugian lebih besar lagi.
Syirik berbuah zina. Makanya, Nah, keluar rumah baca doa!
Mau tahu cerpen terpopuler di iluvtari? Ini dia!
Moga menginspirasi. Aamin.,..
ReplyDeleteMoga Menginspirasi. Aamiin...
ReplyDelete