Tahun lalu, aku mengikuti sayembara naskah drama. Karena belum berpengalaman, tidak paham, dan naskahnya jelek, jadi tidak menang. Daripada mubazir, kuubah saja teks drama itu menjadi cerpen.
Dan inilah, sebuah naskah drama yang diubah menjadi cerpen.
💟 💟 💟
Di simpang traffic light yang ramai, pada RHK berwarna merah, Deni dan May menanti lampu hijau di atas sepeda motor.
“Ibu pasti suka dibawakan kebab. Biasanya dia paling senang makan martabak India, tapi seleranya memang mirip-mirip yang begitu.” Agak menoleh Deni berbicara pada May.
“Tapi aman tidak buat perutnya? Lebih bagus beli buah, sehat.”
Deni mengangguk, “Aku yakin aman. Ibuku jarang sakit perut.”
Pengendara motor lain yang juga berhenti, memicing memandangi Deni. Sebagian senyum-senyum, banyak juga yang geleng-geleng.
Pejalan kaki yang sedang menyeberang menoleh pada Deni. Yang berjalan bersama temannya saling pandang, melihat pada Deni, lalu sama-sama angkat bahu.
Kurang dari satu menit, lampu hijau menyala. Semua kendaraan bergerak meninggalkan simpang.
“Kamu lihat kan orang-orang tadi? Itulah kenapa aku malas keluar rumah.”
“Tidak usah dipikirkan. Bukankah sudah bertahun-tahun begitu,” jawab May, sedikit menyandar pada Deni.
Di rumah Deni, ibunya sedang menonton TV. Suasana sepi, hanya ada suara pelan dari TV yang menyala.
Deni memberi salam dan mengangsurkan kantung plastik berisi kebab kepada ibunya. “Martabak India habis, Bu,” katanya.
“Ibu kan tidak minta apa-apa.”
“Ibu memang tidak pernah pesan apa-apa, tapi aku suka kalau Ibu makan oleh-oleh dariku,” balas Deni.
Dengan mata berkaca-kaca, Ibu mengusap kepala Deni. Anak laki-lakinya yang sudah 40 tahun. “Kamu memang anak baik.”
“Itu karena May, Bu. Dia yang mengajariku menyayangi perempuan.”
May tersenyum pada Deni, lalu ikut bersamanya memasuki kamar.
Ibu berjalan menuju dapur. Membuka kebab perlahan, di atas meja makan. Kepalanya tengadah sebentar, menahan air mata agar tidak jatuh. Ia menghela napas. Melihat Deni yang sudah memasuki kamarnya.
Photo by Wynand van Poortvliet on Unsplash |
Posisi dapur berada di antara kamar Deni dan ruang tamu, tapi tidak sejajar. Tepat satu garis dengan TV, terdapat meja makan yang dikelilingi beberapa kursi. Dari kamar Deni, ruang tamu dapat terlihat jika pintu kamar itu terbuka.
Ibu duduk di salah satu kursi makan. Tangannya mengurut dahi, sesekali melihat ke arah kamar Deni.
Seseorang mengetuk pintu. Ibu berdiri hendak membuka pintu ruang tamu. Karena tidak terkunci, para tamu yang datang membuka sendiri pintunya, dan satu per satu memasuki rumah. Mereka adalah Tia dan Tomo, bersama anak-anak mereka.
“Ibu sehat?” tanya Tia sembari menyalami Ibu dan mencium kedua pipinya.
“Alhamdulillah,” sahut Ibu.
Anak-anak berteriak memanggil nenek mereka dengan ekspresi penuh kegembiraan.
“Bang Deni mana, Bu?” tanya Tia lagi.
Ibu mengarahkan telunjuknya ke kamar Deni.
“Mas Tomo punya kenalan janda anak satu. Perempuan baik-baik, ASN.” Tia membuka pembicaraan sembari menggiring Ibu ke ruang tamu.
Di kamar, Deni membuka seragam kerjanya. May duduk di atas tempat tidur.
“Aku mau mandi, tolong siapkan pakaianku, ya!”
May mengangguk. “Sepertinya adik dan keponakanmu datang.”
Deni melihat ke jendela kamar yang mengarah ke halaman belakang rumah, lalu menutup gorden. “Pasti menawarkan perempuan lagi.”
May mendekati Deni, lalu memeluknya.
“Kenapa semua orang suka mengusikku?” bisik Deni pada May.
Pelukan May makin erat.
Di halaman belakang, terdapat dua kandang ayam berukuran sedang. Di antara keduanya, sebatang pohon rambutan menaungi. Halaman kecil itu dikelilingi pagar rendah.
Tomo mengasingkan anak-anaknya ke sana, agar Tia leluasa mengobrol dengan ibunya.
“Di sini cuma ada ayam, Yah. Kita nonton TV saja!” ajak si sulung.
“Bunda lagi ngobrol sama Nenek. Kita main di sini saja.”
“Anak ayamnya lucu!” si bungsu menunjuk sekumpulan anak ayam di dalam kandang, abangnya mengikuti.
Sekilas Tomo melihat Deni yang menutup gorden jendela.
Ibu memandangi meja dapur dengan pandangan nanar. “Paling-paling ditolaknya lagi.”
“Dicoba saja, Bu. Mana tahu kali ini berhasil,” Tia membujuk.
“Dia gampang tersinggung, Nak. Kalau sudah tersinggung, makin tak mau bicara.”
“Kalau langsung kuajak saja teman Mas Tomo kemari, bagaimana?”
“Jangan! Nanti malah kamu yang malu.”
“Biar Bang Deni lihat langsung. Namanya Mai. Tidak terlalu cantik, tapi baik. Suaminya meninggal dua tahun lalu. Anak cuma satu, pasti banyak yang ingin menikahinya.”
“Mungkin sekarang sudah ada yang melamar,” balas Ibu.
Tia menggeleng. “Belum, Bu. Sudah kupastikan sebelum datang ke sini. Dia tidak mau buru-buru menikah lagi, harus dapat yang sebaik almarhum suaminya.”
“Memangnya kamu lihat Deni sebaik suaminya dulu?”
“Aku tidak kenal suaminya, Bu. Tapi aku kenal Bang Deni. Dia laki-laki baik, cuma terlampau pendiam saja. Pekerjaan Bang Deni juga bagus.”
Ibu mengangguk-angguk, tapi ekspresinya belum cukup antusias.
Sore hari besoknya, Ibu, Tia, dan Mai menunggu kehadiran Deni yang masih bekerja. Tia duduk di sebelah ibunya, Mai ada di seberangnya, terpisah meja ruang tamu.
“Bang Deni itu orangnya superpendiam. Dari kecil kami jarang mengobrol karena dia selalu serius dengan urusannya.” Tia berujar pada Mai.
“Kenalan saja dulu. Kalau berharap dia yang datang ke sana, tak bakal mau. Orangnya kelewat pemalu,” tambah Ibu.
“Iya, Bu. Saya juga tidak terburu-buru. Semua tergantung Nina. Kalau dia mau punya ayah lagi, saya bersedia. Kalau tidak, saya tidak bisa memaksa. Karena yang paling butuh sosok ayah adalah Nina, anak saya,” jawab Mai sopan.
“Bang Deni juara kelas sejak SD. Kuliah beasiswa terus. Ya, kan, Bu?” Tia terus menyanjung abangnya.
Ibu mengangguk. “Tapi dia tidak gaul.”
“Begitulah kalau orang pintar. Sibuk dengan pikirannya sendiri. Dari dulu banyak temanku yang suka pada Bang Deni. Tapi dia selalu menghindar. Tidak pede ketemu perempuan. Tapi dia penyayang. Aku dari kecil tidak pernah dipukulnya. Marah saja jarang. Bahkan sampai sekarang, umurku sudah tiga lima, belum pernah dia membentakku!” timpal Tia lagi.
“Betul. Deni persis seperti bapaknya. Jarang ngomong, jarang marah,” Ibu melengkapi.
Ketika mereka tengah asyik ngobrol, pintu diketuk. Deni datang.
“Kok kamu sudah duluan?” ia langsung melihat pada Mai.
“Maaf, maksudnya?” balas Mai kaget.
Tia dan Ibu saling pandang.
“Dari tadi aku mencari-cari kamu!” tegas Deni pada Mai.
“Mas pasti salah orang. Kita baru ketemu di sini.”
Deni tertawa. “Aku sedang capek, tidak ingin bercanda.”
“Kamu ganti pakaian dulu, Deni. Nanti ke sini lagi, Ibu sudah buatkan kopi.” Ibu melerai, sedang Mai masih kebingungan.
Deni mematuhi ibunya, menuju kamar tapi terus memandangi Mai.
“Maaf, ya. Mungkin kamu mirip temannya.” Tia menepuk pelan lengan Mai.
Mai memaksakan diri tersenyum.
Baca juga: ~ Cerpen Singkat untuk Blog ~
Di kamarnya, Deni terperanjat. May tengah duduk santai di atas kasur, selonjor.
“Aku tadi pulang duluan. Kelamaan nungguin kamu!” ketusnya.
Deni buru-buru keluar kamar.
“Kenapa, Nak?” tanya Ibu, melihat Deni ngos-ngosan.
“Kamu May, kan?” tuding Deni pada Mai.
“Iya, saya Mai.”
“Abang sudah kenal?” Tia mendekati Deni.
“Dia istriku!”
Tia menoleh pada Ibu.
“Istigfar, Deni!” bentak Ibu.
Laki-laki itu berlari kembali ke kamarnya.
“Saya pamit dulu, Bu. Tia! Lain kali saya silaturahmi ke sini lagi.”
Mai buru-buru keluar rumah. Tia, Tomo, maupun Ibu, tak kuasa menahan kepergiannya.
Deni muncul lagi dari kamarnya. Tertegun memandangi Ibu dan Tia, lalu masuk kembali ke kamar.
“Kamu kenapa sih?” tanya May pada Deni.
“Kamu yang kenapa, sedang akting?”
May melipat tangan di dada, “Dasar kamu aneh!”
“Tia!” Deni berteriak memanggil adiknya.
Yang dipanggil tergopoh-gopoh mendatangi Deni. “Ya, Bang!”
“Ngobrol di sini saja! May tidak mau keluar.”
Tia terdiam.
Ibu menghela napas dalam diam, lalu pergi ke kamarnya sendiri.
“Ayo keluar, ngobrollah lagi dengan mereka!” tukas Deni pada May.
“Kamu saja jarang ngobrol dengan mereka.”
“Aku tidak tahu mau bicara apa. Aku juga khawatir mereka menanyakanmu.”
“Ya sudah. Tidak usah dibicarakan.”
“Tapi aku juga ingin normal seperti orang lainnya.”
“Kamu normal kok!”
“Kamu tidak pernah masak untukku. Aku selalu makan masakan Ibu.”
“Kamu benci aku gara-gara aku nggak bisa masak?”
“Maaf, bukan begitu. Ayo keluar!”
“Aku tidak mau.” May membantah. Ia justru tidur-tiduran di atas kasur.
Deni menyingkap selimut May, mendekatinya perlahan. “Sayang … ayolah!”
May tidak menyahut.
“Please, bangunlah! Bicara dengan adik dan ibuku.”
May hanya bergerak sedikit, tapi tidak membuka mata.
“Bangunlah, May! Aku butuh bantuanmu. Aku butuh pengakuan mereka, aku ingin hidup normal.”
May mengambil selimut tanpa membuka mata.
“Kubilang bangun!” akhirnya Deni berteriak.
May terus tidur, tak peduli.
“Aku tidak pernah memarahimu. Tapi kali ini jangan membuatku kesal. Bangun kataku!”
May tetap tak peduli.
“Bangun, sialan! Aku bilang bangun! Pergilah keluar, bicara pada ibu dan adik-adikku! Jangan biarkan orang menganggap aku gila!”
May tetap tidur.
Photo by Francisco Moreno on Unsplash |
Tia dan Tomo menyusul Deni ke kamarnya. Pintu kamar itu terbuka.
Deni berteriak-teriak di atas tempat tidur sambil mengobrak-abrik selimut. “Banguunn!”
Tia menggigit bibir memandangi Deni, matanya berkaca-kaca.
Deni turun dari tempat tidur, mendekat pada Tia dan Tomo, “Maaf, dia sedang tidur. Dia memang keras kepala. Tapi sebenarnya dia perempuan yang baik. Aku belum bisa mengajarinya jadi menantu dan ipar yang baik. Tapi dia istri yang baik, meski agak keras kepala.”
Deni bergerak ke sana kemari seperti orang linglung. “Tapi aku tidak akan menikah lagi. Cukup satu ini saja, kalian bersabarlah. Aku berjanji akan mengajarinya.”
Tia memeluk Tomo.
Deni terus menceracau tentang perempuan dan pernikahan. Kamarnya berantakan, tak seorang pun ada di sana.
Cerpennya bagus Mbak. Banyak dialog mungkin karena bawaan dari drama ya. Trik mengubah drama ke cerpen itu apakah mungkin harus memperbanyak narasinya ya.
ReplyDeletebisa jadi. tapi tempatnya pasti bukan di sini. soale bakal kepanjangan, hehe
DeleteDuh ternyata Deni sakit ya kukira ia disuruh poligami, kebayang keluarganya sedih banget..judulnya apa mbak cerpennya? Nikah ya..
ReplyDeleteiya nikah, judul males mikir, wkwk
Delete