Aku pernah masuk tim penyusun buku mulok sebelum covid menjajah Bumi. Tapi bukan pandemi yang membuat semuanya berantakan. Aku juga gak tau apanya yang salah. Gak penting buat dibahas.
Yang penting tulisan yang sudah kuramu sedemikian rupa, cari referensi sana-sini, jangan sampai dicolong lagi seperti sekian banyak artikelku di UC. Jadi dalam rangka menyelamatkan hak cipta, kupajang di sini saja ya!
DAFTAR ISI:
DAFTAR ISI:
- Kota Jambi
- Kerajaan Melayu Jambi
- Rumah Adat
- Danau Sipin
- Sungai Batanghari dan Suku yang Ada di Kota Jambi
wikipedia |
Kota Jambi
Kota Jambi adalah ibu kota dari Provinsi Jambi, yang luasnya sekira 205,43 km² atau 0,41% dari luas total Provinsi Jambi (BPS, 2018). Sedikitnya ada tiga versi yang menyebutkan asal-usul penyebutan kata “jambi” untuk kota dan provinsi ini.
Asal-usul Nama Jambi
Jambe atau Pinang
Pertama. Kata jambi berasal dari "jambe" yang berarti pinang. Di masa lalu, orang-orang di Pulau Jawa menyebut wilayah ini dengan jambe, karena Jambi saat itu dipimpin oleh seorang putri bernama Putri Selaro “Pinang” Masak. Ada pula yang mengaitkannya dengan pohon pinang yang banyak terdapat di Jambi sejak dulu hingga sekarang.
Janbi dari Kosakata Arab
Kedua. Kata jambi diambil dari bahasa Arab. Menurut buku sejarah De Oudste Geschiedenis van de Archipel, Kerajaan Melayu Jambi merupakan pelabuhan dagang yang ramai pada abad VII sampai abad XIII. Banyak kapal dagang yang datang ke sini, termasuk dari Arab dan Mesir. Kedekatan pedagang Arab dengan masyarakat setempat membuat orang-orang Arab menyebut wilayah ini dengan istilah jambi, yang dalam huruf Arab ditulis جَÙ†ْبِ, artinya “sahabat karib”.
Chanpi oleh Penyebutan Cina
Ketiga. Kata jambi berasal dari Chan-pi. Berita Cina Ling Pio Lui pada abad IX menyebutkan adanya utusan dagang dari Chan-pi ke Cina. Menurut sejarawan Slamet Muljana, yang dimaksud dengan Chan-pi adalah Jambi.
Gentala Arasy, ikon Provinsi Jambi |
Orang Kayo Hitam, anak ketiga dari Putri Selaro Pinang Masak dan Datuk Paduko Berhala melakukan perjalanan dipandu sepasang angsa yang kemudian singgah di sebuah tempat. Inilah asal-usul disebutnya Kota Jambi dengan istilah Tanah Pilih, dan dua ekor angsa (Angso Duo) sebagai simbol.
Tanah pilih yang ditemukan sepasang angsa itu diperkirakan berada di sekitar kantor gubernur di Telanaipura sekarang. Versi lain menyebutkan, Masjid Agung Al Falah adalah lokasi di mana sepasang angsa itu berhenti.
Pada masa kemerdekaan tahun 1945, berdasarkan berita RI Tahun II No. 07 hal 18, Indonesia memiliki 8 provinsi. Di antaranya adalah Provinsi Sumatra. Satu tahun kemudian, Sumatra dibagi menjadi tiga sub; Sub Provinsi Sumatra Utara, Sub Provinsi Sumatra Tengah, dan Sub Provinsi Sumatra Selatan. Jambi masuk dalam Sub Provinsi Sumatra Tengah.
Pada tahun 1958, Keresidenan Jambi dikukuhkan menjadi Provinsi Jambi melalui Undang-Undang Nomor 19. Sedangkan Kota Jambi sendiri telah berstatus Kota Besar sejak tanggal 17 Mei 1946 melalui Ketetapan Gubernur Sumatra No. 103 tahun 1946.
Istilah Kota Besar kemudian diubah menjadi Kota Praja (1948), menjadi Kota Madya (1965), dan sejak 1999, disebut Pemerintah Kota Jambi sampai sekarang. Tanggal 17 Mei 1946 ditetapkan sebagai Hari Jadi Kota Jambi, meskipun baru pada 6 Januari 1957 resmi menjadi ibu kota Provinsi Jambi.
Kerajaan Melayu Jambi
Dahulu Sumatra adalah Kerajaan Melayu, dan Jambi termasuk di dalamnya. Ketika Kerajaan Melayu ditaklukkan, dua orang putri Melayu bernama Dara Petak dan Dara Jingga dibawa ke Jawa dan diperistri oleh pembesar dan raja Majapahit.
Dara Jingga menikah dengan Adwayawarman, seorang pembesar di Kerajaan Majapahit. Dalam keadaan hamil, Dara Jingga kembali ke Kerajaan Melayu dan melahirkan anak yang diberi nama Adityawarman.
Setelah dewasa, Adityawarman dinobatkan sebagai Raja Melayu hingga tahun 1376. Setelah ia wafat, Adityawarman digantikan anaknya, Maharaja Mauli (Ananggawarman).
Pada masa pemerintahan Maharaja Mauli, terjadi pemberontakan oleh Kerajaan Pagarruyung terhadap Majapahit. Pada awal abad XV, salah seorang keturunan Adityawarman yang saat itu tengah berada di Pagarruyung pulang kembali ke Jambi.
Kerajaan Melayu pecah mejadi dua, Luhaknanbapangulu (Pagarruyung) ke Minangkabau, sedangkan Alam Nan Berajo (Jambi) tetap menjadi Kerajaan Melayu.
Keturunan Adityawarman yang kembali ke Kerajaan Melayu itu bernama Putri Selaro Pinang Masak. Saat ia kembali, Kerajaan Melayu dipimpin oleh Tan Talani atau Tun Telanai. Setelah Tan Talani wafat, Putri Selaro Pinang Masak menggantikannya dan berkedudukan di Ujung Jabung (1460-1480).
Putri Selaro Pinang Masak menikah dengan Ahmad Barrus II, sebagian sejarawan menulis Ahmad Salim, digelari Datuk Paduko Berhala, yang konon berasal dari Turki. Dari pernikahan mereka lahirlah tiga orang putra; Orang Kayo Pingai, Orang Kayo Pedataran, Orang Kayo Hitam, dan satu putri; Orang Kayo Gemuk.
Orang Kayo Hitam
Orang Kayo Hitam adalah putra dari Datuk Paduko Berhala dan Putri Selaro Pinang Masak. Ketika Orang Kayo Pingai menjadi raja, Orang Kayo Hitam sangat keberatan melihat Kerajaan Jambi yang setiap tahun harus mengirim upeti kepada Mataram.
Menurutnya Kerajaan Jambi adalah negeri yang berdaulat tanpa perlu tunduk pada siapa pun. Selain memprotes di hadapan petinggi kerajaan, Orang Kayo Hitam juga menghadang langsung iring-iringan yang hendak mengantar upeti dari Jambi ke Mataram.
Penghentian upeti ini membuat Raja Mataram murka, ia berniat membunuh Orang Kayo Hitam karena dianggap telah memberontak. Penasihat Raja Mataram mengabarkan bahwa Orang Kayo Hitam adalah orang sakti yang tidak mudah dikalahkan. Maka atas perintah Raja Mataram, dibuatlah sebuah keris yang diharapkan mampu meredam kesaktian Orang Kayo Hitam.
Keris itu ditempa dari bermacam-macam logam, disepuh air dari berbagai muara, dan dikerjakan selama 40 Jumat.
Ternyata kabar tersebut sampai pula ke telinga Orang Kayo Hitam. Dengan menyamar sebagai pedagang, ia pergi ke Mataram untuk mencari empu yang membuat keris pesanan Raja Mataram.
Setelah berhasil menemukan orang yang sedang mengerjakan keris yang akan dipakai untuk membunuhnya, Orang Kayo Hitam merebut keris itu dan menggunakannya untuk membunuh sang empu. Orang Kayo Hitam juga berhasil mengalahkan prajurit kerajaan yang hendak menangkapnya.
Raja Mataram menyadari bahwa Orang Kayo Hitam bukan orang sembarangan. Maka ia mengajak Orang Kayo Hitam untuk berdamai. Keris yang sedianya dipakai untuk membunuh Orang Kayo Hitam justru dihadiahkan kepadanya.
Kelak, keris yang dinamakan Siginjai ini menjadi lambang kesultanan Jambi. Barang siapa yang menguasai Keris Siginjai, dialah yang berhak menjadi raja Jambi.
Orang Kayo Hitam menjadi raja pada tahun 1500, setelah menggantikan saudaranya. Ia melakukan perjalanan bersama istrinya, Mayang Mangurai, dipandu sepasang angsa atas petunjuk mertuanya, Temenggung Merah Mato dari Air Hitam Pauh.
Orang Kayo Hitam dan Mayang Mangurai menyusuri Sungai Batanghari menggunakan Perahu Kajang Lako. Sesuai amanah Temenggung Merah Mato, Orang Kayo Hitam berhenti di sebuah tempat di mana sepasang angsa yang memandu mereka berhenti dan mandi tanah di sana.
Tempat baru itu disebut Tanah Pilih. Orang Kayo Hitam kemudian memindahkan pusat pemerintahannya ke Tanah Pilih ini, yang sekarang posisinya adalah Masjid Agung Al Falah, biasa dijuluki Masjid Seribu Tiang.
Sejak memerintah, Orang Kayo Hitam segera merombak beberapa aturan kerajaan yang semula bernuansa Hindu-Budha, diganti menjadi lebih islami. Inilah yang kemudian menjadi slogan Adat Bersendikan Syara’, Syara’ Bersendikan Kitabullah.
Sultan Thaha Saifuddin
Sultan Thaha Saifuddin adalah keturunan Orang Kayo Hitam, dan merupakan sultan Jambi yang terakhir. Ayahnya bernama Sultan Muhammad Fakhrudin.
Sultan Thaha lahir dengan nama Raden Thaha Ningrat (versi lain menyebutkan Ratu Jaya Ningrat) di Keraton Tanah Pilih, Kampung Gedang Jambi, tahun 1816. Beliau pernah belajar dan tinggal di Aceh selama dua tahun. Gelar “Saifuddin” didapatkan Raden Thaha saat upacara pelepasan ketika pulang dari sana. Saifuddin berarti pedang agama.
Setelah Raden Thaha Saifuddin diangkat menjadi sultan, beliau langsung meninjau ulang perjanjian para pendahulunya dengan Belanda.
Awalnya Belanda datang ke Jambi dengan tujuan dagang, sama seperti utusan dagang lainnya. Tapi lama kelamaan Belanda memonopoli perdagangan dan mencampuri urusan kesultanan di Jambi.
Dua kapal dagang Belanda pertama kali tiba di Jambi pada tahun 1615, namanya Wapen Van Amsterdam dan Middel Burg di bawah pimpinan Abraham Sterek. Setelah mendapat izin tinggal di Muara Kumpeh, mereka mulai melakukan pendekatan kepada para pembesar kesultanan dan membuat perjanjian dengan saudagar-saudagar Cina.
Pada tahun 1616, Belanda mendapat izin mendirikan loji dari Sultan Abdul Kahar, sultan Jambi pada masa itu. Loji yang semula adalah kantor dagang, pada akhirnya berubah menjadi benteng.
Melihat penderitaan rakyatnya akibat keserakahan Belanda, Sultan Thaha Saifuddin membatalkan semua perjanjian antara kesultanan Jambi dengan Belanda. Hal ini membuat Belanda murka dan melakukan penyerangan.
Pada tanggal 25 September 1858, datanglah 30 kapal perang dengan 800 pasukan Belanda ke Muara Kumpeh. Terjadi pertempuran selama dua hari dua malam. Kapal Perang Houtman milik Belanda berhasil ditenggelamkan oleh pasukan sultan.
Karena kalah persenjataan, diam-diam Sultan Thaha Saifuddin mengosongkan Istana Jambi dan mundur ke Muara Tembesi. Di tempat ini dibuatlah pemerintahan baru sebagai pusat perjuangan melawan Belanda.
Sepeninggal Sultan Thaha Saifuddin, Belanda mengangkat pamannya, Penembahan Prabu, sebagai Sultan Jambi. Hal ini bertujuan untuk memecah belah keluarga kesultanan dan mengadu domba rakyat Jambi.
Tapi pengaruh Sultan Thaha Saifuddin terlalu kuat, rakyat tidak menganggap Penembahan Prabu sebagai sultan mereka. Apalagi Keris Siginjai, yang merupakan lambang kesultanan, masih berada di tangan Sultan Thaha Saifuddin.
Selama hidupnya, Sultan Thaha Saifuddin tidak pernah mau berkompromi dengan Belanda. Ia tidak pernah lunak dalam menghadapi penjajah. Berkali-kali Belanda menawarkan perundingan, selalu beliau tolak. Sebab dari semua perjanjian yang dibuat oleh Belanda, selalu hanya menguntungkan pihak mereka.
Belanda menjanjikan uang yang banyak untuk Sultan, dengan imbalan pengakuan bahwa Jambi adalah milik Belanda, dan ketundukan Sultan terhadap Pemerintah Hindia Belanda. Sultan Thaha Saifuddin bukanlah orang yang mementingkan diri sendiri. Ia berjuang untuk agama dan rakyatnya. Itulah yang membuat Sultan Thaha sangat dicintai oleh rakyat Jambi.
Sampai akhir hayatnya, Sultan Thaha Saifuddin terus berjuang untuk melepaskan Jambi dari penjajahan Belanda. Ada banyak versi mengenai bagaimana wafatnya Sultan Thaha dan di mana beliau dimakamkan.
Tapi yang paling populer dan diakui pemerintah adalah, Sultan Thaha Saifuddin wafat di Dusun Sungai Aro dan dimakamkan di Muaro Tebo pada bulan April 1904.
Rumah Adat
Karena lokasinya di gubernuran, sepertinya ini rumah adat provinsi, bukan kota |
Rumah adat Kota Jambi disebut Rumah Panggung. Sesuai dengan namanya, rumah ini ditopang oleh tiang-tiang. Panjang tiang sekira 1,5 meter, terbuat dari kayu bulian dan kayu tembesi yang terkenal kuat dan tahan lama.
Biasanya rumah panggung terdiri dari 8 ruangan:
- Jogan, tempat istirahat dan menaruh air.
- Serambi depan, ruang tamu atau ruang mengaji laki-laki.
- Serambi dalam, tempat tidur anak laki-laki.
- Amben melintang, kamar pasangan suami istri.
- Serambi belakang, kamar anak perempuan.
- Laren, ruang tamu dan kegiatan perempuan.
- Garang, tempat menumbuk padi dan menampung air.
- Dapur.
Pada rumah panggung yang lebih besar, terdapat ruang Tengganai, yaitu ruang berkumpulnya keluarga besar, dan pertemuan ninik mamak (para tetua).
Di wilayah Jambi Kota Seberang, Rumah Panggung merupakan hunian yang umum digunakan masyarakat. Bagian bawahnya, dipakai untuk menyimpan kayu bakar, kandang ternak, memarkir kendaraan, dan meletakkan sampan.
Tapi pada masa sekarang, sudah banyak warga yang beralih dari kayu ke bahan semen dan batu. Hal itu disebabkan karena berkurangnya jumlah kayu bulian dan tembesi di alam, sehingga harganya jadi lebih mahal.
Danau Sipin
Danau Sipin adalah satu-satunya danau di Indonesia yang terletak di tengah kota. Kawasan Danau Sipin terdapat di empat kelurahan; Legok, Sungai Putri, Telanaipura dan Buluran Kenali.
Panjang Danau Sipin sekira 4.500 meter dengan lebar rata-rata 300 meter. Terbentuk secara alami dengan kedalaman 2—6 meter. Danau Sipin dimanfaatkan sebagian masyarakat untuk mata pencaharian, seperti mencari ikan dengan memasang tangkul dan keramba. Ikan hasil tangkapan langsung dijual mentah atau jadi bahan kuliner di rumah makan sekitar danau.
Permukaan air Danau Sipin dipengaruhi Sungai Batanghari yang terhubung oleh Anak Sungai Legok. Danau ini juga sering dijadikan tempat berlatih oleh para atlet dayung. Baik untuk persiapan pertandingan skala nasional, maupun festival tahunan yang biasa diadakan dalam rangka memeriahkan Hari Kemerdekaan.
Saat ini pemerintah tengah gencar mempromosikan Danau Sipin sebagai destinasi wisata. Sebab banyak potensi yang bisa dikembangkan di wilayah danau ini, selain Danau Sipin itu sendiri. Misalnya area makam raja-raja dan sultan Jambi yang terdapat di sekitar danau, serta peninggalan sejarah lainnya.
Pada tanggal 30 Juni 2019, untuk pertama kalinya Lomba Perahu Tradisional dan Ketek Hias diadakan di Danau Sipin, dalam rangka merayakan hari jadi Tanah Pilih yang ke-618 dan HUT ke-73 Pemerintah Kota Jambi.
Guna mengoptimalkan upaya menjadikan Danau Sipin sebagai tujuan wisata, pemerintah juga telah membangun berbagai infrastruktur pendukung. Salah satunya Jembatan Pelangi yang menghubungkan Singkawang dengan Pulau Pandan, dan Rumah Tenun sebagai tempat wisata edukasi.
Sungai Batanghari dan Suku yang Ada di Kota Jambi
Sungai Batanghari adalah sungai yang terpanjang di Pulau Sumatra. Dulu, sungai ini merupakan tempat singgah kapal dagang dari penjuru Nusantara dan negeri tetangga seperti Arab, Cina, Eropa, dll. Panjang Sungai Batanghari mencapai 500 km dengan lebar 500 meter.
Jika diukur dari asal airnya, panjang Batang Hari bahkan bisa lebih dari 800 km. Air Sungai Batanghari berasal dari Gunung Rasan di Sumatra Barat. Gunung Rasan sendiri adalah salah satu gunung yang membentuk pegunungan Bukit Barisan.
Kehidupan masyarakat Jambi sangat bergantung pada Sungai Batanghari. Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) menyalurkan air sungai ini ke rumah-rumah yang ada di Kota Jambi. Masyarakat di sepanjang Sungai Batanghari juga memanfaatkannya untuk mengairi sawah, mandi, mencuci pakaian, memancing, mengambil pasir, dan masih banyak lagi.
Di Sungai Batanghari banyak ditemukan keramba yang dipasang warga sebagai mata pencaharian, atau sekadar menambah pemasukan. Keramba adalah jaring mengapung yang digunakan untuk budidaya ikan air tawar.
Karena Sungai Batanghari membelah Kota Jambi, penduduk Jambi Kota Seberang (familier disebut Sekoja, meski kurang tepat) yang berada di sebelah utara harus menyeberangi sungai ini jika ingin ke selatan. Begitu pula jika mereka hendak berbelanja ke pasar tradisional terbesar di Kota Jambi, yaitu Pasar Angso Duo.
Karena berada di dekat sungai, warga Sekoja umumnya memiliki perahu pribadi yang digantung di bawah rumah panggung mereka saat musim kemarau. Jika musim hujan datang, dan air sungai meluap sampai permukiman, perahu menjadi alat transportasi mereka.
Karena kebiasaan ini, banyak warga Sekoja yang menjadi terbiasa mengendarai alat transportasi air. Akhirnya, keahlian itu mereka manfaatkan pula untuk mencari rezeki dengan cara mengangkut penumpang dari Sekoja menuju seberang Batang Hari atau sebaliknya.
Melihat besarnya manfaat Sungai Batanghari bagi kehidupan, sudah sepantasnya kita menjaga dan memelihara karunia alam ini. Salah satu caranya adalah dengan tidak membuang sampah ke sungai.
Selain itu, perlu pula mengurangi penggunaan plastik dalam kegiatan sehari-hari. Sebab plastik tidak dapat diurai oleh tanah dalam waktu singkat. Limbah plastik yang dibuang hari ini akan tetap ada bahkan hingga 500 tahun ke depan.
Itulah sebabnya pemerintah mengeluarkan Peraturan Daerah Kota Jambi Nomor 8/2013 tentang pengelolaan sampah. Dikuatkan lagi dengan Peraturan Wali Kota Jambi Nomor 54 tahun 2018 tentang kebijakan dan strategi kota Jambi dalam pengelolaan sampah rumah tangga dan sampah sejenis rumah tangga, serta Peraturan Wali Kota Jambi Nomor 61 tahun 2018 tentang pembatasan penggunaan kantong plastik di Kota Jambi.
Tidak hanya manusia, Batang Hari juga dibutuhkan hewan-hewan untuk kelangsungan hidup mereka. Ada ikan, buaya, dan hewan-hewan darat yang berada di hutan-hutan di pinggir sungai. Jika Sungai Batanghari tercemar, baik oleh sampah maupun akibat penambangan liar, maka ikan-ikan yang ada di dalamnya akan punah. Manusia yang mengonsumsi air dari Sungai Batanghari juga bisa terdampak pencemaran tersebut.
Selain sampah dan penambangan liar, penggunaan pukat juga berbahaya bagi ekosistem di Sungai Batanghari. Pukat adalah jaring besar yang digunakan untuk menangkap ikan. Dengan pukat ini, ikan maupun hewan lain yang tidak termasuk target tangkapan ikut terbawa ke dalam jaring. Pemberat dan ukuran pukat yang besar juga mengakibatkan dasar sungai tergerus.
Jika sungai rusak, habitat di dalam dan sekitarnya juga akan terpengaruh. Contoh yang sering terjadi adalah konflik antara buaya dan manusia. Hal itu disebabkan karena buaya kehabisan makanan, sehingga ia mencari di tempat lain sampai ke permukiman manusia.
Sekoja terdiri dari dua kecamatan saja, Danau Teluk dan Pelayangan. Sedangkan wilayah Kota Jambi di sebelah selatan Batang Hari terdiri dari Kecamatan Telanaipura, Danau Sipin, Pasar Jambi, Jelutung, Jambi Selatan, Jambi Timur, Paal Merah, Alam Barajo, dan Kotabaru.
Kebanyakan Suku Melayu Jambi tinggal di Sekoja, inilah yang membuat daerah ini tampak berbeda dengan perkotaan pada umumnya. Orang-orang di Sekoja sangat menjaga tradisi yang diwariskan oleh leluhur mereka. Masyarakat Sekoja saat ini merupakan hasil pembauran antara orang-orang Melayu, Arab, dan Cina sejak ratusan tahun lalu.
Berbeda dengan sekoja, masyarakat di selatan Kota Jambi lebih heterogen. Umumnya penduduk di wilayah ini berasal dari berbagai suku yang ada di Indonesia, karena mereka adalah para pendatang yang merantau ke Jambi. Ada Suku Minang, Batak, Jawa, Sunda, Bugis, dll.
Penduduk Kota Jambi, baik di utara maupun di selatan Batang Hari, mayoritas beragama Islam. Menurut data BPS tahun 2018, dari total penduduk yang didata, penganut agama Islam sebesar 86,31%; Protestan 5,88%; Katolik 2,45%; Hindu 0,15%; Budha 4,59%; dan Konghucu 0,63%.
Wah seru banget bacanya lengkaap.
ReplyDeleteNgerti banget soal jambi ^^
lengkap dan melelahkan, wkwk. mudah2an ada yg terbantu dg info di atas
DeletemasyaAllah...
ReplyDeletelove love jambi..