Pandemi oh pandemi! Sekolah daring, mengerjakan PR, kelas Zoom, … suatu saat ini akan jadi kisah klasik untuk masa depan. Iya, itu judul album zaman kaset pita. Ketauan deh umurnya!
Setelah pembagian rapor dalam format PDF kemarin, si Kakak diminta mengisi kuisioner oleh pihak sekolah. Intinya tentang sekolah daring yang dilakukan sejak Maret lalu.
“Mi, isi apo ni?” tanyanya pada pertanyaan kesekian.
Pertanyaannya … jreng jreng! Siapa yang menemani Ananda belajar di rumah? Pilihan jawaban: Ayah, Ibu, Guru Privat.
“Loh, selama ini?” tanyaku balik.
“Kan Kakak belajar dewek!” Gubrak!
“Coba ingat-ingat lagi, emang Kakak belajar dewek terus?”
“Iyolah, jawab ‘Ibu’.” Entah ikhlas entah nggaklah anaknya.
Jujur deh, memang aku terbilang jarang menemani si Kakak belajar. Sebab baik Kakak maupun Adek, sama-sama bejibun kalau dapat tugas sekolah. Bukan sekadar emaknya yang males, tapi kasihan juga dengan anaknya.
HP aja error dibuatnya, karena WA penuh. Lah walaupun otak manusia lebih canggih dari HP, tapi kalau ngedumel, kan bisa error juga.
Jadi untuk si Kakak, sebagian besar tugas memang dia kerjakan sendiri. Paling kucek kalau akan dikumpul hari Senin atau Kamis, sesuai jadwal kumpul modul dari sekolah.
Si Adek lebih parah lagi. Setiap hari, masing-masing grup mata pelajaran melempar tugas. Nah karena yang ini lumayan crowded, daripada menguras emosi di ujung pekan, makanya aku fokus memilah tugas si Adek. Kakak ngalah.
Walau guru-gurunya ngebom tugas nyaris tiap hari, kupilih mana yang bisa dikerjakan si Adek hari itu. Karena sepertinya para guru berpikir anaknya duduk tenang di rumah, bangun pagi, minum susu, lalu menunggu pelajaran. Gak gitu, Malih!
Apalagi kalau anak-anak sedang puasa sunnah, biasanya tugas-tugas sekolah kuabaikan dulu. Grup-grup dibisukan 8 jam. Orang puasa gak boleh tertekan. Halah.
Gara-gara sekolah daring, semua tugas jadi serasa PR. Sebagai mak-mak melek teknologi, aku sadar postingan ini akan jadi jejak digital yang akan dibaca anak-anak 5, 10, atau lebih dari 30 tahun nanti.
Jadi begini, Nak, kenangan kalian sekolah dan berjibaku dengan PR selama Pandemi 2020.
Memori Si Kakak
Guru-guru Kakak mungkin usianya di antara usiaku. Milenial gitu, dari Gen Y dan Z. Jadi mereka relatif paham teknologi. Beberapa kali pertemuan via Zoom. Cara kirim filenya cukup rapi.
Karena masih muda, mereka idealis. Menggebu-gebu mengejar tugas anak. Kalau telat ditanya-tanya. Makanya aku sering pusing, hadeu. Akhirnya sempat kuberi Kakak pegangan HP lama untuk menerima tugas-tugas dari gurunya.
Gara-gara punya WA sendiri, tugas 5 biji, ngerjakannya bisa 5 jam! Dia chatting dulu dengan teman-temannya. Cukup, WA dihapus. HP disita! Sesekali dikasih setelah setor hafalan atau beres-beres rumah.
Mungkin banyak keluhan terkait anak terus-terusan pegang HP, jadi metode belajar diubah. Tugas diberi dalam bentuk modul, dijemput dan antar kembali setiap pekan.
Lumayan nyaman sih, anaknya jadi kurang pegang HP. Mereka diwajibkan baca petunjuk di modul, baca teks di buku, lalu mengerjakan tugas.
Setiap tugas disediakan kotak paraf orang tua dan tanggal mengerjakan. Nah, di sinilah bisa dibilang aku berbohong (maaf ya, Bu. Sumpah, terpaksa!) karena aku gak ingat, kadang gak ngeh, kapan si Kakak mengerjakan tugas. Jadi isi tanggalnya sering ngasal.
Kakak paling ribet saat pelajaran Matematika. Dia malah pernah keceplosan cerita, “Kakak dengan Lala cerito-cerito tentang kami diajari emteka di rumah.”
“Lala diajarin Bundanyo?” tanyaku.
“Iyo.”
“Dimarah-marahinlah?”
“Iyo,” jawabnya sambil ketawa. “Samo kayak Kakak.”
Memori Si Adek
Kalau aku punya kemampuan mengajar, jelas anak-anak home schooling saja. Karena sampai detik ini sistem pendidikan Indonesia belum sreg di hati.
Tapi karena sadar diri gak mampu, akhirnya dua kakak-adik itu harus sekolah, seperti manusia Indonesia normal lainnya.
Kebalikan kakaknya, Adek suka Matematika. Kalau kakaknya suka membaca kisah-kisah di mata pelajaran SKI, Adek biasanya nawar LKS Tema saja, saat kusodori buku Al-Qur’an Hadits.
LKS diletakkan di atas kasur, kakinya naik ke dinding. Dia baca soal dengan posisi begitu, kalau ada yang kurang paham, baru balik posisi dan cari bantuan.
“Kalo Adek jawab perkalian nengok tulisan di dinding, boleh dak, Mek (maksudnya Ummi)?”
“Guru ado melarang dak?”
“Dak sih.”
“Berarti boleh.”
Kalau untuk hafalan surah, Adek lebih mudah diajari kakaknya. Walau nanti ketika setoran, tetap ke mak atau bapaknya dulu, baru rekam dan kirim ke guru.
Guru-guru si Adek beda jauh dengan guru Kakak. Usia mereka sepertinya jauh di atasku. Jadi seisi rumah maklum aja kalau mereka mengirim foto tugas, kadang kayak ngeprank. Blur!
Keuntungannya, meski bejibun ngasih tugas. Para guru ini kadang lupa, jadi tak pernah menagih. Karena tak ditagih, maknya lupa, anaknya santuy.
Kuimbangi dengan tepat waktu bayar SPP ajalah. Minimal maknya dianggap pengertian, walau anaknya rada semena-mena.
Beberapa hari lalu si Adek kesal. Sudah susah-susah mengerjakan tugas, tidak dinilai gurunya. Dia chat itu wali kelas! Meski marah, bocah 7 tahun itu masih sempat ngetik salam. Afwan afwan deh Ibu Gurunya.
Aku tau perasaannya. Jadi hari berikutnya dia gak mau bikin tugas, kubiarin aja dulu. Lu kira enak, mau main keluar dilarang. Suruh bikin tugas dulu. Habis salat, ngaji, mau main uno stacko, disuruh ngerjain PR dulu. Eh, gak dinilai.
Gitu deh, Anak-anak … apakah kalian terkesan dengan cara emak kalian menemani belajar? Kalau dibayangkan dengan gaya belajar kalian sekarang, beginilah kira-kira kalian menjawab.
Adek: mikir sambil salto di kasur.
Kakak: jawab sambil megang kepala, “Ay pikirlah dewek, Kakak pusing!”
Hikmah pandemi, ya. Emak bapak jadi lebih tahu proses belajar anak-anak, bahkan jadi guru juga...
ReplyDeleteKalau anak-anak home schooling, boleh diajari orang tuanya aja ya mbak? tanpa harus panggil guru dari luar, penasaran sayanya, hhe
ReplyDeleteBisa aja guru luar, asal duit bapaknya ngangkat. Tp konsep home schooling yg kumaksud itu yg kaaffah, sak urusan mainnya jg. Tp itu cuma ide, aku sendiri gak sabaran kalo ngajar
Delete"Otak manusia lebih canggih dari HP, tapi kalau ngedumel, kan bisa error juga."
ReplyDeleteSetuju ini Bun... Semua balik ke kita dan kontrol diri. Kalau nggak semua bisa error ya Bun ^_^
Mbak, aku bacanya koq nyengir2 yaa, berasa ada di tengah2 kakak dan adek di sana hehehe
ReplyDeleteMoga segera normal lgi ya sekolahnya, dan kalau udah normal sekolahnya pasti pada kangen momen2 daring begini :D
Nah itu, aku juga kepikiran. Suatu saat nanti kita mungkin bakal kangen masa2 pandemi. Antara rindu dan benci gitu, hihi
DeleteSemakin seru ya menemanin anak belajar dari ini jadi memahami banget karakter anak dan metode belajar yang tepat untuk mereka
ReplyDelete