Siapa suka cerpen romantis? Aku sih sukanya pempek, tapi bukan pempek dos yang gaje itu. Pempek bukan, cireng bukan. Tolonglah bikin pembuka yang nyambung!
Ini ada yang ngirim cerpen romantis sedih, yang jujur aja aku gak ngerti ceritanya. Yang penting enak dibaca, kalimatnya lumayan bagus, ya kasih tempat aja. Langsung deh, ini cerpennya!
Senja Telah Pergi
oleh Nisa Hwang
“Aku sangat suka senja,” kalimat itu adalah kalimat pembuka yang kau ucapkan saat kita berjalan beriringan di tepi pantai yang indah ini, saat senja.
Kau dengan senyum tulus dan mata yang berbinar namun sendu, menatapku dengan penuh duka.
“Ada apa?” tanyaku.
Aku tahu kau sedang dirundung kesedihan yang dalam. Dan aku ingin kau bercerita. Tapi kau hanya diam. “Kau tak ingin cerita?” aku mendesakmu agar mengatakan kegundahanmu.
Namun harusnya aku ingat bahwa kau bukanlah jenis orang yang dengan mudahnya menceritakan kegundahanmu kepada orang lain. Bahkan kepadaku, kekasihmu sendiri.
Kau hanya menarik napas dalam-dalam, dan terus berjalan berusaha meninggalkan jejak yang panjang di pasir pantai ini.
“Kita hanya bisa bertemu saat senja,” katamu seteleh sekian lama berdiam.
“Ya, aku tahu.”
“Bukankah senja terlalu sebentar?”
“Memang, tapi kita bisa apa?”
“Sisa berapa hari lagi?” kali ini suaramu terdengar bergetar, kuharap kau tidak sedang menahan tangisan.
“Dua hari.”
“Tak bisakah lebih lama lagi?”
Aku hanya menggeleng pelan, dan kulihat kau kini telah menitikkan air mata.
“Begitu cepatnya.” Kau menghapus air mata itu dengan kasar. Lalu berjalan mendahuluiku.
Aku menatap punggungmu yang lebar. Aku tahu kehangatan sudah terkikis dari sana. Kau bukanlah lelakiku yang dulu. Kau sudah banyak berubah. Aku tahu itu. Terutama hatimu, dia telah hampa. Matamu selalu saja sayu setiap kali kita bertemu. Dan bibir tebal itu hanya tersenyum palsu padaku.
“Aku ingin pergi denganmu,” katamu yang tentu saja membuatku sangat terkejut.
Aku menatapmu dengan kilatan mata yang memancarkan kemarahan. “Kau gila? Kau pikir mudah pergi bersamaku?”
Kau mengangguk dengan yakin, sebagai jawaban atas pertanyaanku. “Aku mencintaimu, jadi biarkan aku pergi denganmu.”
“Lagi-lagi kau mengatakan itu, setiap senja, saat bersamaku. Kau selalu berkata ingin pergi denganku. Kau pikir semudah itu? Tidak! Ini sulit. Sangat sulit. Tentu saja orang tuamu takkan setuju. Aku bersumpah mereka tidak akan pernah setuju.”
“Aku tak perlu izin mereka.”
“Memang! Tapi tetap saja tidak bisa. Apa yang akan terjadi jika mereka kehilanganmu? Sudahkah kau membayangkan akibatnya? Pikirkan ibumu, beliau sangat-sangat menyayangimu. Jika kau pergi apa yang akan terjadi padanya? Pasti berdampak buruk untuknya.”
“Aku tidak peduli.”
Kata-katamu membuatku benar-benar marah. Aku memutuskan pergi dari sana. Tak kuhiraukan dirimu yang terus memanggil namaku dengan putus asa.
Senja itu datang lagi, kita bertemu dan berjalan-jalan lagi. Seperti biasa, terhitung sejak tiga puluh delapan hari yang lalu, kita hanya bisa bertemu saat senja.
Senja ini, kau sama seperti senja-senja sebelumnya. Dan matamu semakin sayu saja, Semakin meredup hampir kehilangan cahaya. Aku iba melihatmu, tapi aku tak bisa berbuat apa-apa.
Matahari di sana sudah menghilang, namun cahayanya masih bisa dinikmati sekalipun agak samar. Kegelapan mulai bermunculan di segala penjuru. Aku gelisah menanti sepatah dua patah kata dari mulut tebal itu. Tapi sepertinya kau tidak ingin mengatakan apa-apa senja itu.
“Kau tahu sisa satu hari lagi,” kataku. Sontak membuatmu berhenti dan menundukkan kepalamu yang sedari tadi menatap langit.
“Aku lupa bahwa aku hanya punya waktu satu hari lagi,” katamu bernada pilu. Namun, sesaat kemudian kau tersenyum.
“Kau datang dan pergi begitu cepatnya. Baiklah, besok kita akan bertemu untuk terakhir kali,” katamu dengan nada dibuat riang, lalu pergi dengan langkah tergesa-gesa.
Aku tahu ada kejanggalan di sana.
Photo by Jamez Picard on Unsplash |
Langkahmu terseret. Kau hampir terjatuh, tetapi dua orang yang membopongmu dengan sigap menahan tubuhmu. Senja itu kau lemah sekali, lebih lemah dari cahaya jingga di langit.
Kau berdiri di hadapanku, tersenyum manis sekali. Hatiku menjadi hangat saat melihatnya. Senyuman kali ini sangat berbeda, bukan senyuman yang sering kau tunjukkan.
Bukan, bukan senyum pilu itu. Aku yakin ini senyum bahagia. Dan matamu itu, meskipun sendu tapi terdapat binar-binar lembut di sana. Kau mencoba berdiri dengan tegap. Dua orang tadi mundur berpuluh-puluh langkah ke belakang. Meninggalkan kita berdua.
“Hai,” sapamu. Senyum itu belum juga hilang, dan aku suka.
“Hai. Kau sakit?” tanyaku basa-basi. Kau hanya menggeleng pelan.
“Aku baik-baik saja.”
“Bahkan setelah aku pergi?”
Kau diam, kulihat matamu berkaca-kaca. “Ya, aku akan mencoba,” katamu semenit kemudian.
Aku menarik napas lega mendengarnya.
“Kuharap kau bisa tinggal lebih lama,” katamu.
“Empat puluh hari sudah sangat lama.”
“Tak bisakah selamanya?”
Aku menggeleng cepat. Kau terkekeh melihatnya.
“Ah, kematian begitu kejam pada kita,” katamu setengah bercanda.
“Aku tahu, masing-masing kita mencoba memberikan raut paling bahagia bagi satu sama lain,” katamu. Aku mengangguk setuju.
“Aku menunjukkan raut bahagia agar kau yakin bahwa aku baik-baik saja. Dan kau menunjukkan raut bahagiamu juga agar aku yakin aku akan baik-baik saja tanpamu. Percayalah, aku pasti akan baik-baik saja dan akan hidup bahagia. Aku berjanji.”
Aku menangis kau juga menangis. Senja itu entah mengapa menjadi senja yang paling panjang di antara senja lainnya.
“Jadi di sana kau jangan mengkhawatirkan aku lagi,” suaramu serak sekali dan air matamu semakin deras mengalir.
“Aku tidak akan khawatir, karena aku percaya padamu,” kataku dengan suara yang tak kalah seraknya.
“Nah, sudah waktunya.” Kulihat cahaya jingga sudah benar-benar terhapus dari lukisan cakrawala. Aku sadar inilah saatnya untuk mengucapkan salam perpisahan padamu.
Senyumku yang paling manis kuberikan padamu, kata-kata selamat tinggal terucap dengan lancarnya di bibirku yang kecil ini. Seiring dengan itu, aku semakin memudar dari pandanganmu. Kaupun semakin memudar dari pandanganku, semakin pudar. Lalu akhirnya hilang. Satu yang tersisa adalah suaramu yang masih serak.
“Senja telah pergi.”
Cerpen Pilihan iluvtari Lainnya
Sebenarnya aku kurang suka cerpen cinta-cintaan, tapi karena gak terlalu picisan, makanya kunaikkan. Menurutmu, cerpen romantisnya bikin baper gak?
Fyi, kalau kamu mau kirim artikel ke media, pastikan artikelmu sesuai dengan visi media tersebut. Iluvtari sih gak ketat-ketat amat, asal yang punya blog suka, ya naik. Tapi perlu juga kamu cek artikel-artikel iluvtari, terutama cerpen yang pernah tayang, supaya peluang lolos lebih besar. Halah, ngasih pulsa dikit aja sok-sok nyeleksi!
Setelah cerpen romantis, cerpen apa lagi ya yang bakal naik? Kamu kirim juga dong, biar tau! Ke sini.
No comments