Setelah lama posting hal-hal unik, info psikologi, dll, aku selalu rindu untuk memposting cerpen. Alhamdulillah lumayan banyak yang kirim naskah ke iluvtari, sekarang giliran cerpen jodoh pilihan keluarga yang kunaikkan.
Itu temanya, men. Bukan judul. Judul cerpen dan penulisnya bisa kamu lihat di gambar ilustrasi. Punya cerpen yang sesuai visi blog ini? Lihat infonya di akhir cerpen ya!
Cerpen Pilihan: Pertalian Jodoh
Kopiku tumpah tersenggol lenganku sendiri. Kabar bahwa Astuti akan segera menikah dengan Broto membuatku terkejut bukan main. Danang sepertinya tidak mau aku ketinggalan informasi penting yang telah membuat seluruh warga desa heboh.
Pepatah mengatakan, kabar buruk cepat menyebar. Aku sendiri pun tidak tahu lagi apakah kabar pernikahan yang seharusnya membahagiakan ini masih dikategorikan sebagai kabar baik atau buruk. Yang jelas, aku sanggup ternganga mengabaikan cangkir kesayanganku pecah di lantai.
“Kamu pasti ndak nyangka to, Gus? Sama, aku juga ndak nyangka Astuti menikah dengan duda anak tiga itu,” komentar Danang berlalu di telingaku.
Aku hanya diam tanpa tahu harus bicara apa. Ada kalimat kekecewaan di kalimat Danang yang susah untuk ia sembunyikan.
Astuti adalah teman baik kami sejak kecil. Menjadi satu-satunya perempuan dalam kelompok kami, Astuti bak putri yang selalu kami lindungi segenap hati. Sudah sejak lama Danang menaruh hati padanya, namun perasaan itu hanya tercekat di tenggorokan. Astuti tidak pernah tahu bahwa Danang menyukainya dengan tulus.
Danang pun mengetukkan telunjuknya ke atas meja. Ia merasa yakin Astuti terpengaruh guna-guna, sehingga mencintai orang yang salah. Aku tidak bisa membantahnya.
Danang berbicara berdasarkan data bahwa Pak Broto, pria paruh baya itu, merupakan salah satu orang yang dituakan oleh penduduk desa. Banyak orang datang padanya untuk memohon pengabulan hajat. Benar atau tidaknya kabar itu, aku sendiri tidak pernah ingin mencari tahu.
Mencintai seseorang membutuhkan faktor-faktor yang kadang tidak bisa dinalar. Mungkin saja Astuti jatuh hati pada Broto karena sikapnya–dan usianya–yang telah dewasa, kebaikan hatinya yang membuat Astuti merasa tersentuh, atau memang karena Astuti memiliki keinginan tersembunyi untuk menikmati harta kekayaan Broto.
Aku mengungkapkan beberapa kemungkinan pada Danang, yang langsung ditolak mentah-mentah. Ia masih berpendirian teguh bahwa Astuti terpengaruh guna-guna.
“Aku akan menyelamatkan Astuti, Gus! Apa pun caranya. Apa pun risikonya!”
Itulah yang sedari awal aku cemaskan dari Danang. Ia tidak main-main dengan ucapannya untuk menyelamatkan pujaan hatinya. Setelah hari itu aku tidak pernah bertemu lagi dengan Danang, seakan-akan ia benar-benar hilang dari dunia.
Satu minggu sebelum pernikahan Astuti dan Broto, kuberanikan diriku datang menemui gadis bertutur kata lembut itu di kediamannya. Ibu bapaknya sanksi melihat kedatanganku, meskipun akhirnya mereka setuju meninggalkanku untuk bicara berdua dengan Astuti di beranda rumah.
Aku mulai membicarakan kisah lawas kami bertiga ketika kecil dulu, awal yang baik karena Astuti merespons ucapanku dengan gelak tawa yang tertahan. Lesung pipi yang coba ia sembunyikan di balik telapak tangan saat tertawa masih sama manisnya seperti dulu, saat kami masih kanak-kanak.
“Aku nggak nyangka, sebentar lagi kamu mau menikah,” ujarku di pengujung cerita kilas balik pertemanan masa kecil kami.
Astuti mengangguk pelan, dengan senyum mengembang dari bibir mungilnya.
“Kamu bahagia dengan pilihanmu sendiri?” tanyaku hati-hati.
Senyum Astuti pun sirna.
“Aku akan bahagia kalau dengan pilihanku sendiri, Gus. Tapi dalam hal ini aku tidak kuasa memilih,” jawabnya lirih. Sorot matanya layu, menghindari tatapan mataku.
Siang itu Astuti menceritakan semuanya padaku. Tentang kedua orang tuanya yang memiliki utang ratusan juta pada Broto dan tak sanggup melunasi hingga jatuh tempo.
Pernikahan Astuti dengan Broto merupakan satu-satunya cara agar utang kedua orang tua Astuti dapat terlunasi, berikut bunga-bunganya. Alasan klise yang tidak kuduga masih terjadi di masa kini.
Helaan napas panjangku terasa berat, mengingat sahabatku Danang yang telah salah mengira. Mengingat ternyata aku juga masih menyimpan rasa pada Astuti setelah sekian lama mencoba menguburnya dalam-dalam dan tidak ingin mengakuinya.
Hari itu aku menyenggol kopiku hingga tumpah. Cangkirnya pecah di lantai dengan bunyi dentingan yang khas. Begitulah hatiku terasa sakit, lebih sakit daripada mengetahui bahwa aku dan Danang telah jatuh hati pada satu nama.
Selama ini aku hanya bersiap untuk menerima seandainya Danang dan Astuti bersama, hingga aku lupa mempersiapkan diri untuk melepaskan Astuti dengan orang lain.
“Gus,” aku terkesiap.
Astuti memanggil namaku dengan lembut, “Sebenarnya aku mencemaskan satu hal,” katanya.
Hari pernikahan Astuti dan Broto telah tiba. Tamu undangan mulai berdatangan memenuhi kursi yang disediakan di bawah tratak. Panggung tempat kedua mempelai dihias dengan bunga-bunga kertas bercorak emas.
Aku berjalan menuju ruang rias pengantin, dan mendapati Astuti sedang berkaca di cermin besar. Memakai gaun kebaya berwarna putih dan riasan wajah yang tidak berlebihan, membuat kecantikannya semakin terpancar.
Pun juga wajah cemasnya, yang terpantul maya di permukaan cermin. Satu minggu yang lalu ia memberitahuku, ketakutan terbesarnya bukanlah pada pernikahannya dengan calon suaminya.
Hal yang paling ia cemaskan adalah kepergian Danang yang tiba-tiba. Jauh dalam lubuk hatinya, Astuti ternyata membalas perasaan Danang. Dan sahabatku itu tidak pernah mendapat kesempatan untuk mengetahui yang sebenarnya.
Aku menguatkan hati. Untuk siapa pun hatinya, untuk siapa pun raganya, tali jodohku bukanlah dengannya. Kuulang-ulang perkataan itu di benakku, hingga orang tua Astuti datang tergopoh-gopoh membawa kabar duka yang tidak diduga.
Broto baru saja meninggal dunia sesaat sebelum berangkat menuju rumah Astuti. Pria paruh baya itu memuntahkan paku dan silet bersama dengan darah, hingga akhir ajalnya. Penduduk desa meyakini ada yang tidak wajar dalam kasus kematian Broto.
Kecemasan Astuti menjadi kenyataan. Ketika aku melihat di kejauhan, Wajah Danang tersembul dari balik pohon mangga di seberang jalan. Ia tersenyum penuh kemenangan.
Agak klise, tapi menarik kan cerpennya? Selain cerpen jodoh pilihan keluarga di atas, masih ada sederet cerpen menarik lainnya yang juga merupakan kiriman pembaca iluvtari. Kamu bisa lihat di Label Cerpen atau baca-baca info terkait di Menu Sastra.
Punya cerpen yang tak kalah menarik dari cerpen jodoh oleh Ella Leavy tadi? Ada info menulis cerpen dibayar yang perlu kamu baca! Ditunggu kirimannya, ya!
No comments