Gengs, ada cerpen yang lolos nih! Cerpen tema sekolah yang dikirim ke iluvtari oleh Dwi Wahyuningsih. Bukan cerpen pendidikan, ya. Walaupun temanya masih tentang lingkungan sekolah. Penasaran gak? Oke deh, kamu simak kisahnya di bawah ini!
Contoh Cerpen Tema Sekolah
Si Pendekar
Salah satu foto kenangan yang tertimbun di gudang usang itu menarik perhatianku sejenak. Meski aku sudah cukup sering melihat isinya, namun mataku menelisik sesosok manusia yang kalau boleh kubilang cukup aneh. Ia bukan hantu atau penampakan. Ia seorang manusia, juga seorang teman sekelasku di masa SMA.
Tak akan kusebut namanya, karena kami memang tak seakrab itu dan ia bukan orang yang menurutku menyenangkan untuk diingat atau diakrabi. Hanya “aneh” satu kata yang terus membuat sosoknya terlekat di ingatanku.
Pendekar, itulah julukan yang banyak orang sandangkan padanya. Hampir sama seperti pendekar di dunia fiksi atau legenda yang mengalahkan musuh-musuhnya sendiri. Pendekar tak butuh orang lain di sisinya, ia kuat, dan musuh telak terkalahkan oleh kekuatannya.
Demikian pula si gadis berjuluk Pendekar itu, dalam kesehariannya di sekolah kerap kali kujumpai ia berpergian sendiri. Sangat jarang atau bahkan mungkin tidak pernah membersamai orang lain. Setidaknya itulah yang orang-orang dapati darinya.
Dulu, ketika awal mula masa SMA, kebetulan aku duduk tak jauh di belakangnya. Hal yang cukup memantik tanda tanyaku adalah meski ia seorang pendiam dan tidak terlalu banyak bergaul dengan siswa lain, anehnya ia justru memilih duduk di bangku depan. Kalau melihat dari film atau anime tentang manusia sejenis si Pendekar, pastinya ia akan memilih kursi belakang, kan? Dan nampaknya ia pun tak terlalu peduli dengan siapa ia akan duduk sebangku.
Benar rupanya dugaanku, ia hanya bicara seperlunya. Mungkin sekadar kenalan. Tak ada bincang basa-basi sebagaimana umumnya seorang yang baru kenal atau mungkin saling tukar pendapat tentang suatu hal. Entah itu seperti “mata pelajaran ini sulit juga ya?” atau “gurunya galak banget deh” atau semacamnya. Ketika pelajaran usai ia pun bergegas pergi entah ke mana tanpa menghiraukan teman sebangkunya. Agak kasihan juga sih.
Dan ketika pembelajaran dimulai kembali, ia selalu masuk terakhir dengan menenteng sebuah buku, “ke perpus” jawabnya ketika seorang guru bertanya alasan dari keterlambatannya. Apakah dia orang yang pintar dan suka belajar? Kalau iya, aku rasa cukup masuk akal jika dia memilih bangku terdepan.
Di semester 2, ketika pulang sekolah kudapati di depan ruang OSIS penuh sesak dengan siswa. Ruang dengan dinding bernuansa cokelat itu, di depannya terpatri sebuah meja dengan berlembar-lembar kertas, dan seorang perempuan salah satu pengurus OSIS yang betugas. Lalu-lalang siswa bergiliran mencorat-coretkan pulpennya di sebuah kertas. Ya aku ingat, tadi pagi ada seorang senior yang menyosialisasikan tentang pendaftaran OSIS tahun ini.
Jelas saja begitu ramai orang tertarik mendaftar OSIS, selain sebagai organisasi yang cukup bergengsi di sekolah, katanya pengalaman di OSIS juga akan membantu seseorang di masa depan. Entahlah aku tak begitu tertarik dengan kegiatan organisasi sekaku itu. Rasanya seperti mengikuti pelatihan militer.
Aku bahkan masih ingat bagaimana senior kelas 3 meneriaki kelas 2 di masa pengenalan sekolah. Atau ketika mereka menghukum plus membentak para siswa baru yang terlambat atau tidak sesuai aturan. Menghukum mungkin masih bisa kupahami, tapi membentak? Haruskah?
Aku masih diam di dekat ruang OSIS, mengamati. Rasa ingin tahuku cukup besar, bertanya-tanya orang seperti apa kiranya yang dengan senang hati dibentak, dihukum, dikekang dengan segala aturan, dan melakukan hal-hal yang kemungkinan berbau militer. Di antara kerumunan itu, yang cukup mengejutkanku adalah adanya seorang perempuan yang sama sekali tidak asing bagiku, ikut pula berdesak-desakan dan mengantre di ruang OSIS, ialah si Pendekar.
Wow, benarkah itu si Pendekar? Orang sependiam itu dan antipergaulan seperti dia mengikuti OSIS? Rasa penasaran ini justru kian memuncak.
Bergegas kuhampiri si Pendekar ketika ia telah selesai mendaftar, kedua tangannya masih menenteng beberapa lembar kertas yang entah apa. Tanpa basa-basi lagi segera kutanya, “Hai, kamu ikut daftar OSIS, ya?”
“Iya,” jawabnya singkat dengan sedikit senyum di bibirnya.
Aku baru sadar, suaranya ternyata tak terlalu lembut sebagaimana bayanganku tentang seorang pendiam. Ah, jangan-jangan dia bukan orang yang pendiam? Entahlah. Aku memang sangat jarang berbicara dengannya. Hanya beberapa kali saja ketika memang ada perlu. Itu pun tak terlalu kuhiraukan hal-hal tentangnya.
Tak ada perbincangan lagi, si Pendekar hanya sibuk membereskan berkasnya untuk dimasukkan ke dalam tas. Kacang deh. Aku pun segera pamit untuk pulang lebih dulu, dan ia pun hanya membalas dengan anggukan.
Selepas beberapa minggu dari hari pendaftaran, kudengar si Pendekar diterima sebagai salah satu pengurus OSIS bersama pula dengan tiga orang siswa lain dari kelasku. Dan sejak saat itu, mereka sering kali melewatkan pelajaran. Meski dengan dispensasi dari OSIS, namun itu cukup memantik bisik beberapa guru. Terutama untuk si Pendekar.
Jelas saja kurasa, jika sebelumnya ia selalu duduk di depan dan menyimak pelajaran dengan baik. Maka ketika ia tertinggal pelajaran karena kegiatan OSIS, jelas ia akan kebingungan terlebih tentang tugas. Karena dia bukan seorang yang akrab dengan teman sekelasnya, aku yakin ia kebingungan untuk bertanya.
Meski begitu, tidak ada niat hatiku untuk menghampirinya dan menjelaskan tugas, kecuali dia bertanya. Pendekar pun memilih untuk bertanya pada salah satu siswa yang sesama anggota OSIS seperti dirinya.
Dengan semua usahanya untuk menyeimbangkan antara kegiatan OSIS dan sekolah, nyatanya bagi si Pendekar hal itu tak berjalan mulus, beberapa guru banyak yang membicarakannya, pun juga ada yang menegurnya. Entah itu karena kedatangan yang terlambat, absensi, ketidakbaikan hubungan antarteman di kelas atau tugas.
Yang jelas, pelajaran sekolah mulai sedikit demi sedikit diabaikan oleh si Pendekar. Ia lebih menekuni kegiatannya di OSIS, demikian yang dikatakan oleh para guru di kelas.
Juga ia kerap kali terlibat cekcok dengan teman sekelas, khususnya ketika tugas kelompok datang. Seorang yang sekelompok dengannya kerap kali merasa jengkel dengan tingkahnya. Kadang si Pendekar hanya diam dan mengikuti instruksi atau mengerjakan apa yang ditugaskan padanya, namun tak jarang pula ia ikut marah. Entah karena didesak atau karena sikap teman sekelompok yang tidak nyaman dengannya.
Kadang pula bukan karena tugas, persoalan sepele semacam tempat duduk, piket, kas, dan sebagainya pun dapat memantik kemarahannya. Kadang matanya menyiratkan kesedihan, kemurungan, juga… kecewa? Intinya, dapat kusimpulkan dia orang yang sensitif. Mungkin karena sebab itu pula teman-teman di kelas mulai menjaga jarak darinya. Itu membuat gelar pendekar semakin cocok dipakainya.
Pendekar tak butuh orang lain untuk mengalahkan musuhnya. Ia kuat.
Kisah pendekar yang semacam itu terus berjalan dari waktu ke waktu, selalunya hampir sama. Kegiatannya di OSIS, cekcok dengan teman sekelas, dan bisik-bisik para guru tentangnya. Hingga tanpa sadar, kami semua telah duduk di kelas 2 SMA.
Kusadari banyak hal aneh melekat dalam diri si Pendekar, bahkan kontradiktif barangkali. Antara dirinya di kelas dan dirinya di OSIS. Entah kenapa di OSIS ia layaknya lebih hidup dan lebih normal. Ia bisa dengan mudah berbincang dan tertawa, sebuah momen yang sering kali kudapati ketika pulang sekolah saat kulihat ia mengikuti kegiatan OSIS bersama pengurus lainnya. Kenapa dia bisa sebegitu akrab dengan orang, tapi begitu antipergaulan di kelas?
Atau ketika ia berjalan di lorong kelas, beberapa orang kenalannya menyapanya dengan panggilan pendekar. Ia tersenyum dan sedikit melontar guyonan. Atau juga pernah kulihat dia mengunjungi salah satu adik kelas di ruang kelasnya, mereka berbincang di luar kelas dalam waktu yang cukup lama.
Mata sayu dan tunduk lesu yang kala pertama kulihat sepulang ia sekolah atau ketika berangkat sekolah di awal masa SMA dahulu, entah kenapa mulai lenyap. Meski ia memang tak terlalu akrab dengan kami yang teman sekelasnya, namun aku tahu betul ada sesuatu yang berubah darinya.
Hingga suatu hari di akhir kelas 2, entah kenapa aku merasa ia mulai membuka diri dengan kami teman sekelasnya. Ia mulai sering nimbrung di perbincangan kami, menyahuti guyonan meski terkadang garing, dan ikut makan atau pergi ke musala bersama. Entah apa yang mendasari perubahannya.
Semua itu berlanjut. Di kelas 3 SMA, ia menjadi seseorang yang mudah akrab dan bisa diandalkan untuk membantu kesulitan orang lain. Ia juga ternyata cukup pintar, sehingga beberapa teman sering bertanya padanya.
Aneh, lagi-lagi kata itu benar-benar terasa cocok tersemat bagi si Pendekar. Dengan alasan yang tidak kami ketahui, dia menjadi seorang yang antipergaulan dan pendiam di masa awal SMA, lalu dengan alasan yang tidak kami ketahui pula ia menjadi seorang yang akrab dan layak disebut teman. Aku benar-benar benar tidak paham apa yang ada dalam kepalanya. Apa yang membuat cara pandang dan pikirnya berubah?
Sampai sekarang ketika kami sama-sama telah lulus dan menjalani kehidupan masing-masing, sosok si Pendekar masih menjadi misteri yang belum atau bahkan mungkin tak akan pernah dipecahkan oleh siapa pun.
Kami masih berhubungan lewat media sosial. Dan entah kenapa lama kelamaan kuperhatikan, ia adalah seorang yang normal. Sama seperti orang lain. Masa-masa kuliah ia jalani layaknya orang lain, berteman pula layaknya orang lain, mengikuti organisasi, juga beberapa komunitas lainnya seperti yang sering kutemui dalam postingan atau statusnya. Bahkan barangkali pergaulannya malah lebih luas dariku yang kian hari memperhatikan bahkan mengkritisi hidupnya.
Apa pun itu, sosok aneh dalam diri Pendekar masih lekat dan tak akan pernah berubah meski tiga tahun telah berlalu. Pun juga aku, salah satu temannya yang entah ia ingat atau tidak, siswa bernomor absen 9.
Kudus, 1 Februari 2021
Cerpen tema sekolah sudah, cerpen horor sudah, cerpen perjodohan juga sudah pernah dimuat di sini. Kalau kamu berminat kirim cerpen juga, upayakan yang agak beda, ya! Biar cerpen di iluvtari makin variatif, jadi pembaca betah sering-sering main ke sini. Hehe, maunya.
No comments