Siapa yang suka baca novel terjemahan? Aku. Yang suka novel klasik? Aku. Yang suka baca tapi jarang review? Aku juga. Termasuk film, habis nonton cuma dipikirin sendiri. Sayang banget padahal! Sekarang tobat ah, coba-coba menulis review novel terjemahan. Siapa tau bisa kebiasaan!
Salah satu hal yang membuatku malas menulis resensi, adalah aturan bakunya. Entah aturan baku itu memang ada, atau dasar akunya yang banyak alesan, entahlah. Karena ini blog pribadi, suka-suka akulah ya, mau nulis kayak gimana. Cara review novel yang bagus itu gimana sih? Aku nggak tau. Aku nulis yang aku bisa aja.
Rasisme Ada di Mana-mana
Novel yang sudah selesai kubaca sejak beberapa bulan lalu adalah Small Great Things, novel terjemahan terbitan Bhuana Sastra. Setelah itu masih ada sedikitnya dua novel lagi yang tuntas kubaca. Tapi satu satulah, Mbah!
Novel ini bertema rasisme, hal yang sudah ada di mana-mana sejak dulu. Kita kira manusia modern sudah meninggalkan fanatisme ras dan kesukuan, nyatanya nggak. Stigma terhadap kelompok tertentu dan narsisme pada golongan masih ada hingga hari ini.
Small Great Things bukan berkisah tentang zaman perbudakan, melainkan rasisme yang terjadi di masa kekinian. Membaca novel ini, dipadu fakta kondisi Amerika Serikat sekarang, mungkin kita bakal menyimpulkan, bule memang rasis!
Tapi itu kesimpulan yang keliru, Gengs. Kita semua berpotensi untuk rasis, tergantung pemikiran, pergaulan, dan pola asuh. Coba, siapa yang orang tuanya masih pilih-pilih menantu dari suku tertentu? Siapa yang masih menyimpan stigma kalau orang Jawa itu munafik, orang Padang pelit, orang Batak kasar, orang Sunda centil? Nah itu, banyak kan!
Di Eropa dan Amerika, yang sering mendapat stigma negatif adalah warga kulit hitam. Mereka dianggap sudah terlahir sebagai budak bagi kaum kulit putih. Apakah semua orang kulit putih satu padu dengan anggapan tersebut? Tentu nggak. Wong sesama kulit putih pun mereka terpecah lagi, ada ras Eropa (Nordik, Alpina, Mediteran, dll), Roma (bukan Roma Italia, tapi orang Gipsi), Yahudi, Armenia, dst, yang di mata kita kayaknya sama aja.
Belum kelar urusan rasisme paling menonjol antara kulit hitam dan kulit putih, muncul masalah baru ketika virus Corona menjadi pandemi dunia. Orang-orang keturunan Asia, semua dianggap Cina oleh kaum rasialis di AS. Serangan terhadap keturunan Asia meningkat akhir-akhir ini, karena warga AS menganggap Cina adalah biang covid-19.
Jadi jelas, rasisme ada di mana-mana, dan merupakan penyakit kita semua. Kalau sakit, ya berobat. Masalahnya kadang kita merasa sehat-sehat saja, jadi lebih sulit sembuh. Nah kalau penyakitnya rasis, membaca bisa jadi salah satu obat. Aku suka me-review novel terjemahan Small Great Things (ini yang kedua), karena percaya dengan membacanya, kita bisa memupuk simpati. Mampu memahami, dianggap inferior itu gak enak. Merasa superior juga menggelikan.
Kasus rasisme yang panjang umur, terutama di AS, kemudian menjadi topik yang diangkat oleh Jodie Picoult dalam salah satu karyanya. Oke, inilah review novel singkat dari buku setebal 600 halaman, Small Great Things.
Review Novel Terjemahan “Small Great Things”
Suatu hari, seorang anggota komunitas supremasi kulit putih bernama Turk Bauer, membawa istrinya ke rumah sakit tempat Ruth bekerja. Pasutri itu menolak dilayani oleh Ruth, bahkan meminta kepada pihak rumah sakit agar bayi mereka tidak disentuh oleh karyawan Afrika-Amerika.
Bayangkan kalau kamu berada di posisi Ruth, melihat catatan pada ranjang bayi bahwa ia tidak boleh menyentuh seorang pasien, hanya karena warna kulit. Benar-benar nyesek kan! Yang lebih menyebalkan tentu ketika pihak RS memenuhi keinginan itu. Ruth merasa tidak mendapat pembelaan dari tempatnya bekerja.
Selain rasisme, hal seperti itu juga jadi masalah klasik di mana-mana. Ketika seorang karyawan bermasalah dengan pihak luar, pihak perusahaan biasanya cari jalan selamat sendiri. Tak masalah bagi mereka mengorbankan satu dua karyawan, yang penting bisnis selamat.
Ruth Jefferson sebenarnya merasa ada yang salah dengan bayi Bauer, tapi aturan tersebut membuatnya serbasalah. Ruth yakin, si bayi tidak baik-baik saja. Tapi perang batin berkecamuk dalam dirinya, terutama saat ia dipaksa oleh keadaan untuk berada dekat dengan bayi itu.
Di sanalah masalah bermula. Bayi Bauer kejang saat berada dalam pengawasan Ruth. Antara rasa kemanusiaan dan taat aturan (atau malah dendam pada RS?) membuat Ruth bimbang. Namun pada akhirnya, sisi manusiawinyalah yang memenangkan pertarungan batin itu.
Sayangnya, bayi Bauer tetap tak tertolong. Anak itu wafat, meninggalkan banyak kecamuk di belakangnya. Apakah Ruth menyentuh atau tidak menyentuh si bayi, ia tetap akan dihukum. Bauer bersama komunitasnya mati-matian hendak memenjarakan Ruth yang merupakan single parent dari seorang remaja.
Ruth tau, Bauer menuntutnya lebih karena alasan ras, bukan soal kematian si bayi. Sebab bukti-bukti medis pada akhirnya menunjukkan bahwa bayi Bauer memang mengalami kelainan … nah ini aku lupa istilahnya. Masalahnya buku fisik tidak bisa di CTRL+F, hehe. Pokoknya efek dari ibu yang diabetes.
Ribetnya lagi, pengacara Ruth, Kennedy McQuarrie, memintanya untuk mengabaikan masalah rasisme itu. Berdasarkan pengalaman McQuarrie selama menjadi pengacara yang dibayar negara, mengangkat isu rasisme hanya akan membuat kliennya kalah.
Dalam novel Small Great Things, kamu akan mendapat banyak info terkait istilah medis, hukum, dan kilasan sejarah perbudakan di masa silam. Juga gambaran bagaimana kehidupan masyarakat multiras di AS.
Jodie Picoult juga memaparkan bagaimana kehidupan Ruth kecil. Tentang ibunya yang 50 tahun mengabdi pada keluarga kulit putih, tapi selama itu pula ia bekerja mengenakan seragam asisten rumah tangga. Padahal sang majikan kerap menyebut keluarga Ruth sebagai bagian dari mereka.
Ending novel ini cukup indah, dan lumayan mengejutkan. Gak usah kutulis ya, nanti malah jadi spoiler yang menyebalkan. Pokoknya membaca Small Great Things bisa dibilang cukup memuaskan. Mengaduk-aduk emosi sekaligus melegakannya. Fyi, menurut penulisya, novel Small Great Things adalah jahitan dari kejadian nyata yang disusun menjadi karya fiksi.
Sebagai orang yang pernah menulis karya fiksi, aku percaya. Sebab menulis novel kehidupan seperti ini butuh riset mendalam, gak bisa modal ngayal doang. Mengangkat kisah nyata adalah salah satu modal referensi yang kuat untuk sebuah karya hasil imajinasi.
Tentang Jodie Picoult
Sebenarnya aku memilih novel Small Great Things karena informasi di cover buku pada bagian teratas, “#1 New York Times Best Seller” dan keterangan di bawah nama penulis “Penulis novel best seller My Sister Keeper”.
Pada cover novel ini, bukan judul yang paling menonjol, tapi nama penulisnya. Jodie Picoult. Artinya, ia memang sudah dikenal sebagai penulis hebat kelas internasional. Sampai-sampai orang bukan lagi melihat pada apa yang dikisahkan novel ini, tapi siapa yang menulisnya. Meski namanya sudah populer, ternyata aku gak kenal-kenal amat dengan Jodie Picoult. Dia kenal aku gak ya?
Menurut Wikipedia, Jodie Picoult adalah perempuan Amerika yang lahir di New York pada tahun 1966. Aktif sebagai novelis sejak 1992 hingga sekarang. Deretan karya dan penghargaan yang ia dapat bisa kamu lihat sendiri di laman wiki yang kusisip di paragraf ini.
Biasanya, jika satu karya dirasa begitu menarik, kita akan terinspirasi untuk menikmati karya lain dari orang yang sama. Buku-buku Jodie Picoult, novel Small Great Things dan judul lainnya tentu saja bisa kamu temukan di toko-toko buku yang ada di kotamu. Dua novelnya; Living Time dan Handle with Care, juga tersedia di aplikasi ipusnas.
Baca buku fisik maupun elektronik, asal legal, dua-duanya oke. Please lah, jangan ngebajak. Kamu bukan kerbau. Nanti orang-orang malas nulis kalau karyanya tidak dihargai. Btw, apakah review novel terjemahan ini menginspirasimu untuk membaca karya sastra?
Aku juga begini nih akhir2 ini, males review atau resensi buku yang aku baca. Habis dinikmatin, udah gitu aja. Nulis review kayak usaha banget gitu. Btw, ini reviewnya bagus banget.
ReplyDelete