Topik pelakor selalu hangat di mana-mana. Obrolan arisan, acara TV, medsos, sampai ke buku. Meski istilah pelakor baru ramai di tahun 2000-an, sejatinya para perebut laki orang ini sudah ada sejak dulu kala. Aku bukan mau bahas kisah korban pelakor yang mehek-mehek, melainkan membedah, alias review novel pelakor yang diangkat dari kisah nyata.
Cerita Novel Pelakor
Seperti novel Sebuah Janji di Pulau Kecil yang pernah kuedit, novel tentang pelakor yang akan kubahas ini juga asal muasal kuangkat ke blog karena diminta menjadi editor oleh penulisnya. Sayanglah, bahan tulisan di depan mata kok dilewatkan!
Menurut Mbak Gemintang Bestari, sang penulis, novel pelakor karangannya adalah salah satu bab dari buku satu tema aneka topik yang ia tulis. Mengikuti saran salah seorang kenalannya yang sudah lama berkecimpung di dunia kepenulisan, akhirnya “bab pelakor” ini diangkat menjadi satu novel utuh.
Selama proses editing, kami sering berinteraksi, bahkan sampai sekarang. Membahas berbagai hal, dari perkara buku sampai ngomongin kasus-kasus yang trending. Politik aja yang belum dibahas, karena wilayah itu sensitif banget. Siapa tau parpol jagoan kami bertolak belakang. Kaminya ribut-ribut, aleg di sana makan bersama. Kan konyol. Lagian kenapa juga bahasannya sampai ke situ!
Memburu Kunti Gatel
Yup, judul novel pelakor yang kumaksud adalah Memburu Kunti Gatel. Dari situ sudah ketahuan dong, kalau ini bukan cerita tentang perempuan-perempuan yang menderita lahir batin, teraniaya oleh para durjana, diabaikan dunia, bergelimang dalam duka lara sebatang kara ….
Dikisahkan, seorang cewek bernama Afifah tengah mengenang masa lajangnya. Ketika orang sibuk membahas publik figur religius yang dicap sebagai pelakor, ia pun teringat punya pengalaman yang mirip. Gak mirip-mirip amat sih, tapi bau-bau perselingkuhan juga.
Bedanya dari kisah orang ketiga ala-ala sinetron azab, Afifah memilih untuk bertindak. Alih-alih menangisi nasib, ia justru berusaha keras mempertahankan laki-laki yang menurutnya sudah menjadi haknya. Di sini ada dua hal yang aku nggak setuju.
Pertama, status mereka masih pacaran, jadi laki-laki itu bukan hak siapa-siapa. Mungkin hak emaknya. Tapi kan Afifah lagi bucin, dimaklumi aja. Kedua, kenapa sih laki-laki itu kayak barang gak ada otaknya? Gampang aja diambil sana sini, kan bisa mikir sendiri. Nah loh, nulis sendiri emosi sendiri!
Afifah tidak bekerja sendiri, ia kerahkan segala sumber yang bisa diberdayakan. Dari teman-temannya sendiri, teman pacar, sampai sepupu dari Fatih, orang yang sedang ia pertahankan. Kubayangkan kalau sebelum nikah saja begini amat si Afifah berjuang, bagaimana pula kalau suaminya dicolek orang setelah mereka punya anak. Kalap kali dia.
Karena buku ini lumayan lama jaraknya antara proses edit sampai artikel ini kutulis, jadi cukup banyak bagian yang aku lupa. Setelah tuntas edit Memburu Kunti Gatel, ada sekian novel yang kubaca dan sekian film yang kutonton, jadi hanya potongan-potongan kecil yang masih nempel di kepala.
Misalnya adegan ketika Afifah nyatroni rumah si “pelakor” (kukutip karena harusnya ‘perebut pacar orang’) di mana Afifah yang datang bersama temannya, lalu pulang sendiri. Kenapa bisa gitu? Ya kamu baca sendirilah. Aku pribadi gak jadi baca buku atau nonton film kalau spoilernya bertaburan di mana-mana, apalagi kelewat detail.
Bahwa kunti gatel adalah si pelakor, kemungkinan besar kamu langsung tau dong dari awal tadi. Ini kan novel populer, bukan tema detektif pula. Lalu, kenapa sampai disebut kunti? Nah itu perlu kamu cari tau dengan cara baca sendiri, wkwk. Review macam apa ini!
Dahlah, berdasarkan ingatan yang masih tersisa, inilah kesimpulanku tentang Novel Memburu Kunti Gatel:
Kelebihan
Diangkat dari kisah nyata.
Di mana-mana, buku atau film yang diangkat dari kisah nyata punya nilai plus. Alasannya beragam, salah satunya adalah kepo. Salah duanya simpati, bahkan empati, jika pembaca juga punya pengalaman pribadi yang mirip. Jadi novel pelakor yang satu ini setidaknya sudah punya “massa” bahkan sebelum diterbitkan. Kan korban pelakor di Indonesia ada berjuta-juta. Halaah.
Gak menye-menye.
Nangis ya nangis, Afifah kan manusia biasa. Tapi ia bertindak, bukan cuma pasang status berbagi derita di medsos. Iya kalau warganet setuju, kalau mood mereka sedang gak bagus, malah dibully seplanet. Siapa suruh pacaran! Belum nikah aja gitu amat lu!
Dengan tindakannya tersebut, ada sisi positif bahwa sebagai perempuan, Afifah adalah subjek. Gak melulu jadi korban, dia malah ada jahat-jahatnya juga ke si kunti. Orang kalau bucin emang rada psiko. Andai si Afifah atau penulisnya dulu kawan dekatku, dan dia minta tolong untuk merebut pacarnya kembali … alih-alih kubantu. Kujitak iya.
Gaya bahasa yang riang.
Para pencinta sinetron azab perlu banget baca novel pelakor ini. Supaya mereka bisa melihat dari sisi lain pada masalah yang sama. Bahwa dalam kedukaan, masih ada yang bisa ditertawakan. Nah, cara penyampaian Gemintang Bestari menurutku punya nilai lebih juga. Karena meskipun kisahnya terbilang “sedih” (dikutip lagi!) namun ia menyajikan dengan gaya tutur yang tidak melulu melankolis, malah banyak humornya.
Kekurangan
Belum nikah.
Yah bagaimana pun juga, rada nyeleneh sih berebut laki-laki yang bukan laki. Tapi semangat mempertahankan “hak” ala Afifah oke punya jika dipraktikkan oleh para istri. Kadang laki-laki memang loyo di hadapan para pelakor. Loyo dari mempertahankan keluarganya, karena dia dan pelakor dibantu jutaan setan terkutuk.
Atribut keislaman.
Yang namanya di negeri mayoritas muslim, Islam mesti kebawa-bawa oleh perbuatan muslimnya. Di novel ini, si pelakor digambarkan berpenampilan religius. Tapi ya gitu, sudahlah pacaran, ngembat pacar orang pula. Dan penulisnya alpa dari membersihkan Islam dari perbuatan si tokoh. Termasuk editornya, dasar!
Tentang Gemintang Bestari
Nama aslinya Dinny Febriyanti, dah ketebak bulan apa dia lahir. Tanggal 6, tahunnya gak usah. Dia gak ngerasa tua kok, dikasihnya aja info pas kutanya. Akunya yang khawatir data orang tersebar ke mana-mana. Dapat dari mana? Dari iluvtari, kan nambah kerjaan.
Emak-emak kelahiran Jambi ini punya hobi membaca dan nonton. Gak tau dia suka nonton apa, gak dijelasin. Entah ludruk, Netflix, atau nonton kucing ditindas ayam di halaman orang. Pokoknya dia sudah suka nulis sejak SD, maka memang sewajarnya kalau sekarang punya buku.
Apalagi waktu masih jadi “bocah FKIP”, Mbak Dinny juga tergabung di Komisariat Sastra dan Teater Cindaku. Masa anak sastra gak punya buku. Kan biasa. Eh.
Btw setelah novel pelakor Memburu Kunti Gatel, insyaallah gak lama lagi Gemintang Bestari akan menerbitkan buku selanjutnya yang diambil dari bab lain dari “buku induk” inspirasi awalnya. Entah sebagai sekuel atau berdiri sendiri menjadi buku yang mandiri. Apaaan!
Kamu penasaran kan gimana akhir kisah Afifah setelah review novel pelakor ini? Harus dong! Untuk pemesanan dan atau silaturahmi dengan penulisnya, sila cek ke IG gemintang_bestari.
No comments