Cari di iluvtari

Cerpen Para Los Que Sufren

Cerpen layak tayang, Gengs! Pilihan iluvtari. Kenapa judulnya Cerpen Para Los Que Sufren? Karena cerpen ini milik seseorang dengan nama pena tersebut. Artinya apa, kalian cari sendirilah di Google.

Kalau biasanya aku memberi judul besar di atas dengan topik cerpen, misalnya Cerpen Tentang Perempuan, Cerpen Cinta Segitiga, dll, kali ini kupilih judul menggunakan nama penulisnya. Sebab aku yakin suatu saat insyaallah dia akan jadi penulis besar. Biar setelah banyak orang mengenalnya, ketika mencari karya Para Los Que Sufren, mereka akan sampai ke blog ini.

Sesobek Roti Isi Cokelat
(2024)

cerpen romansa remaja


Because you’re sweet and lovely girl, I love you
Because you’re sweet and lovely girl, it’s true
I love you more than ever girl, I do.
(For You Blue, The Beatles).

Uangku habis. Kelaparan; sekarat setengah mati merasa ingin diselamatkan, terduduk sendirian di dalam bus. Bermandikan rona biru pucat yang redup, mencerminkan hati seorang lelaki yang kesepian.

Kuharap kalimat pembukanya berhasil. Omong-omong, cerita yang sangat singkat ini kutulis dengan maksud untuk mengabadikan kebaikan seorang gadis.

Jadi begini. Duduk tepat di seberangku di kursi bus, bersama temannya, ia asyik bercakap-cakap secara akrab; aku, dalam bayang-bayang, mengamati, memperhatikan, dan diam-diam menikmati keindahan kegadisannya.

Gadis ini punya dua lesung pipi seperti mochi—di bawah matanya—berona merah muda yang hangat, yang pada saat yang sama juga berubah menjadi bentuk menawan yang membuatku terpana. Kecantikan surgawi!

Ia memiliki kecantikan yang unik—tak peduli ekspresi apa yang ditampilkannya, selalu memikat. Kukatakan ini dengan tulus. Dua bingkai kacamata dengan gagang yang tersembunyi di balik kerudung birunya menyempurnakan penampilannya. Berbentuk persegi dengan ujung yang melengkung lembut; sedikit lebih besar di bagian atas dan meruncing di bawah, seolah melindungi sepasang mata yang tak sanggup kutatap terlalu lama. Sungguh cantik, bak mutiara biru muda yang berkilauan.

Ketika pintu bus terbuka dan tertutup, suara gemerincing yang dalam terdengar. Selain merasakan embusan AC yang dingin di wajahku, tak ada siapa-siapa di dalam bus selain aku dan dia. Entah bagaimana, kekhawatiran akan kedinginan dan kelaparan tiba-tiba lenyap. 

Mungkin aku tak ingin menjadi pusat perhatian, jadi kufokuskan perhatianku pada lagu yang kuputar melalui earphone, alih-alih mencoba diam-diam mengamati gerak-geriknya.

Begitu ia duduk, ia merapikan rok panjangnya dan membenarkan posisi kerudungnya. Ketika menyadari bahwa aku memperhatikannya, aku segera mengalihkan pandangan—sebuah refleks yang bodoh.

Ia pun menegur, “Sendirian aja, De?” 

Namaku Ade.

“Uh oh.” Aku mengangguk. Masih belum menatapnya.

“Gak makan?”

Aku menatapnya, “Hm.” Aku memiringkan kepala seperti orang idiot, tak tahu harus berbohong seperti apa. “Belum,” lanjutku, berkata jujur.

“Eh, kenapa?”

“Gak pengen.”

“Nanti sakit, lho.”

Tak ada satu kata pun yang keluar dari bibirku. Kupikir percakapannya telah berakhir, tetapi kemudian gadis itu tiba-tiba merasa kasihan padaku. Yang tanpa ragu-ragu, merobek plastik itu (kudengar dengan sangat jelas). 

Saat aku mulai merasa terisolasi lagi, perlahan-lahan aku melihat kekosongan terbuka di hadapanku, siap untuk menelanku sepenuhnya. Namun kemudian aku teralihkan oleh cahaya surgawi yang muncul dari kegelapan kehampaan, seperti lubang hitam yang jauh di langit. Cahaya itu berkedip-kedip beberapa kali hingga yang bisa aku lihat hanyalah lanskap putih yang kosong, di mana aku merasa seolah-olah telah mati.

Tetapi tidak!—Seorang malaikat tanpa sayap, seorang gadis, berbicara kepadaku tanpa menyebut namaku.

“Nih!” 

Aku menoleh ke arahnya.

Lengan kanannya menjulur, dan di tangannya kulihat sesobek roti isi cokelat masih berada di dalam setengah plastik pembungkus. Kulihat kehidupan di cokelat yang berjalan lambat itu.

“Makasih.”

Tanpa ekspresi, ia hanya menjawab, “Hm.” 

Lalu, dia mulai sibuk dengan sisa rotinya di tangan lainnya. Menggigitnya satu kali, dua kali, dan ketiga kalinya ....

Tiba-tiba, malaikat itu menatapku!

Kugelengkan kepalaku dengan lembut. Tak ada apa-apa, hanya ... kau terlihat begitu manis. Sungguh. Dan kurasa ... aku menyukaimu.

Perjalanan pulang yang panjang hingga larut malam menandai berakhirnya hari itu. Dengan baterai ponsel yang hampir habis, aku memaksakan diri untuk tidur.

Lampu bus dimatikan, tetapi kursinya nyaman. Teman sekelasku yang berkacamata tertidur lelap di bahuku, ekspresinya yang damai menyerupai ekspresi orang yang sudah mati.
Ceritanya akan segera berakhir.

Pada pertengahan tahun 202X, setelah menghadiri pernikahannya, aku merasa bahwa aku harus membaca ulang naskah yang sangat singkat ini di rumah. Sementara itu, aku dipanggil ke atas panggung untuk foto bersama, dan malaikatku tampak cemas.

Aku diberitahu, bahwa ia bertanya-tanya, apakah aku mengalami masalah, karena aku terus menundukkan kepala, dengan aura muram yang seakan-akan menyeruak ke dalam ruangan. 

Aku merasa sedih. Maafkan aku. Aku baik-baik saja. Tidak, itu sepertinya tak baik-baik saja; Mari kita mulai berpose untuk kenangan ini bersama-sama! 

Kamu punya cerpen yang oke? Kirim ke iluvtari ya! Baca ketentuannya di sini.

No comments