Cari di iluvtari

Cerpen Tema Keluarga, Cerita Beda Alam

Cerpen yang masuk kali ini, adalah cerpen tema keluarga yang ditulis oleh Lampu Manusia. Ceritanya sangat sederhana dan nyaris tanpa konflik. Kok dimuat? Karena niat awalku adalah menghargai penulis. Dan rezekinya juga, bahwa saat cerpennya masuk, tidak ada cerpen lain yang datang.

Namun, bukan berarti iluvtari sembarang menerima cerpen, ya. Harus tetap punya nilai positif, seperti cerpen berjudul Cerita Beda Alam ini, yang mana ada nilai-nilai islami dan kehangatan keluarga yang penulis angkat. So, sila disimak kisahnya!

Cerpen Tema Keluarga

Cerita Beda Alam

Karya Lampu Manusia


Aku punya banyak cerita, tapi kita tak cukup waktu untuk bercerita. Seusai drama ini selesai, apakah kita masih punya waktu untuk duduk sejenak, dan mengangguk-angguk seraya memahami lawan bicara? 

Alam yang berbeda membuat cerita ini terbungkam, tetesan air mata hanya akan mewakilkan secuil dari segala amarah dan emosi yang berkumpul. Kepalaku sudah penuh rasanya. Namun, waktuku belum selesai. 

Aku masih menunggu waktu di mana akhirnya kita berjumpa kembali dengan latar dan suasana yang lebih indah. Entah kapan, dan sekarang aku masih menyusun cerita untuk kelak bisa kaudengarkan setiap kata demi katanya. 

Pukul 2 malam waktu itu, ayat terakhir sudah kubaca. Melipat mukena menjadi lipatan terkecil. Menggerak-gerakkan badanku yang sudah berdiam sejak 30 menit lalu. 

Aku menilik ke luar kamar sekejap, memastikan saja. Sepertinya mata ini sudah tak mau jika kuajak menjelajahi bunga tidur. Jadi kuputuskan untuk membuka kembali tugas matematika. 
Sembilan belas dari 20 soal telah kuselesaikan. Kuusap kepala, rasanya sudah banyak asap yang keluar karena terlalu lama berputar-putar dengan angka dan huruf yang terus berbeda. 

Internet akhirnya harus menjadi jawaban terakhir ketika tugas itu belum terselesaikan. Namun, tak ada huruf dan angka yang bersusun sama seperti pertanyaan di tugasku. 

Aku mengerutkan dahi, menggigit jari sambil memejamkan mata berharap ilham tiba-tiba datang. 

Suara detak jam dinding terasa lebih cepat ketika aku belum bisa menyelesaikan satu soal ini. Rasanya ingin kuhentikan agar aku selalu punya waktu panjang untuk mengerjakannya. 
Aku menutup masalah pagi ini. Beranjak dari tempat duduk dan kembali mencari udara segar di ruang keluarga. 

Lampunya masih tertidur. Aku pun menyalakan sakelar untuk membangunkannya. 

Pukul 4 waktu itu. 

Angin pagi menyambut, seakan memelukku erat. 

Menghapus kesunyian, TV menjadi pelarian pagi ini. Namun apalah daya, 15 menit kemudian bukan aku lagi yang menonton TV, tapi TV yang menontonku. 

Suara pagi hari bercampur menggema, alarm ikut menggema, bahkan suara ayam juga tak ingin kalah.

“Dek, banguun!” Suara Ibu yang menjadi pemenang. Suara yang tidak pernah absen walau tanggal merah. 

Aku masih menutup telinga, seraya berkata, “Bentar, Bu. Lima menit lagi, ya!”

“Dek, bangun, yuk! Salat Subuh dulu.” Suara Ayah menyeka mimpiku. Suaranya halus, lembut, seperti tak punya beban. 

Aku membuka mata perlahan, Ayah masih memandangku penuh cinta. Senyumnya yang indah menjadi pemenang kesejukan pagiku.

“Adek!” Suara ibu kembali menggema. 

“Tuh, ayo bangun!” Ayah membujuk.

Aku pasrah berdiri. 

Ruangan yang tak cukup besar, mungkin ukurannya hanya 3x3 meter. Ornamen bagian depan pahatan lafaz basmalah. Hiasan dinding bertuliskan ALLAH di sebelah kanan, dan MUHAMMAD di sebelah kiri. 

Salat Subuh bersama Ibu dan Ayah bisa dibilang anugerah terindah yang tidak semua orang dapat. Wejangan sampai matahari muncul menjadi hal-hal yang ingin aku perlambat. Bahkan kalau bisa meminta, aku akan meminta momen ini setiap harinya. 

“Kamu tau kunci bahagia?” Ayah memandangku, menunggu jawaban.

“Senyum?” jawabku polos.

“Kunci bahagia itu, ketika kamu mulai ikut bahagia melihat kebahagiaan orang lain, dan kamu tidak menyimpan rasa marah bahkan iri. Karena kamu tau, bahwa kamu punya hal-hal yang sudah cukup untuk membuatmu tersenyum setiap harinya.”

“Hanya itu?” Aku percaya diri seakan menantang.
Menurutku itu bukanlah syarat yang susah untuk mencapai bahagia,  lagi pula untuk apa iri dengan kehidupan orang lain?

“Ini tak semudah pelaksanaannya, Dek. Menata hati untuk terus bahagia bukanlah hal mudah. Yang kedua adalah ikhlas. Ikhlas adalah sebuah karya yang tercipta setelah sakit yang tak bisa terucap, tentang rasa kecewa yang ditutup rapat serta tentang rasa marah yang dipaksa dikubur hidup-hidup,”  Ibu melanjutkan. 

“Apakah ikhlas menjadi hal terpenting juga dalam hidup?” tanyaku penasaran.

“Ikhlas itu ada di hatimu. Biarkan dia menetap. Karena terkadang hal-hal yang telah pergi harus kita ikhlaskan,” Ayah mengambil alih jawaban. 

“Tapi, Yah. Kadang kita selalu berandai-andai akan sesuatu. Apakah itu artinya belum ikhlas?”

“Tentu, karena ikhlas juga berarti bersyukur dengan hal-hal yang sudah Allah beri dan itu lebih baik daripada berulang kali menyesali kekurangan.” 

Aku memeluk Ayah dan Ibu, mengisyaratkan ucapan terima kasih untuk segala hal yang Ayah dan Ibu beri. Rasa sunyi dan hangat bercampur dalam pelukan itu. 


“Adek! Bangun! ”  Suara Ibu menggema. 

Aku terkejut, tiba- tiba mengubah posisi tidurku menjadi duduk di sofa, dengan kondisi TV yang masih menyala. Mimpi itu cukup membuatku kebingungan. 

“Ayah? Ayah balik lagi?” Tanganku bergetar.

Bagaimana tidak, Ayah kembali datang ketika aku sedang hilang arah. Kata-kata mutiaranya mengingatkanku kembali ke percakapan terakhir kami di delapan tahun lalu. 

Kehilangan Ayah, menyisakan ruang rindu dan marah di hatiku. Ternyata bahagia dan ikhlas tak semudah ucapannya. 

“Adek! Bangun! Kok tidur di sofa?” 

“Ee ... eee ... nggak,” jawabku gugup. 

Ruangan 3x3 m itu masih tetap dengan ornamennya, bahkan hiasan dindingnya. Yang berbeda hanya warna catnya dan suasana pagi ini. 

Salat Subuh hanya aku dan Ibu. Aku memasrahkan kepalaku di pangkuan Ibu. 

“Kenapa? Tumben banget?” Ibu mengelus kepalaku. 

“Ayah, Bu. Ayah tadi dateng di mimpi aku.” 

“Mungkin Kamu rindu? Kamu lagi ada masalah? Kenapa nggak cerita ke Ibu? Ibu akan tetap ada di setiap apa pun kondismu, Sayang.” 

Aku menatap ibu. “Ikhlas ternyata susah ya, Bu.” 

“Susah, karena kamu masih menganggap yang kamu dapat itu milik kamu. Itu semua titipan, Nak. Percayalah, yang Allah kasih dan ambil itu baik. Kita aja yang terkadang mendahului takdir. Husnuzan menjadi solusi saat ini.” 

“Terima kasih, ya, Bu,” 

“Nanti sore ke makam Ayah, yuk! Kita bersih-bersih,” ajak Ibu. 

Aku tersenyum setuju.

2 comments

  1. Anonymous19/1/25

    Sukses selalu kak Tari, pengen juga diajak singgah buat numpang cerpen lagi🤭😁, salam literasi!

    ReplyDelete
    Replies
    1. Kirim aja. Insyaallah penerimaan cerpen masih dibuka, selama saldo masih ada 😁 *doain ada terus

      Delete